KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGUJI UU SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Salah
satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman
(peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari
kesewenang-wenangan. Dalam konsep
Rule of Law menurut
International Commision of Jurist, syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis adalah :
1)
Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari
menjamin hak – hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk
memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (
independent and impartial tribunals)
3) Pemilihan umum yang bebas
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6) Pendidikan kewarganegaraan (
civic education)
Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri
dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang
jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.
Sebuah
tonggak sejarah baru dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah
dibentuknya Mahkamah Konstitusi oleh MPR ketika melakukan Perubahan
Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
dinyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan peradian yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan miiter, peradilan tata usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahakam Konstitusi”. Ini berarti kekuasaan
kehakiman menganut system bifurkasi (
bifurcation System) dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 cabang, yaitu cabang peradilan biasa (
ordinary court)
yang berpuncak pada Mahkamah Agung, dan cabang peradilan konstitusi
yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitusional review atas
produk perundang – undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi yaitu sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani
perkara bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita – cita demokrasi yang sedang diusung dan diperjuangkan sebagai cita
– cita bangsa Indonesia. Di samping itu, keberadaan Mahkamah Konsitusi
sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang
stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan antara lain oleh adanya
berbagai pendapat dan pandangan serta tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dalam
Perubahan Ketiga ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dicantumkan
dengan tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C UUD 1945
menentukan 4 kewenangan konstitusional (
constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban konstitusional (c
onstitutional obligation).
Keempat kewenangan itu adalah
1). menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewena ngannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3). memutus pembubaran partai politik; 4). memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sementara 1 kewajiban MK adalah memutus tudingan DPR bahwa Presiden /
Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hokum ataupun tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Diantara
empat kewenangan dan satu kewajiban tersebut, kewenangan untuk menguji
undang – undang terhadap UUD adalah yang menjadikan Mahkamah Konstitusi
sebagai sebuah badan peradilan tata Negara yang berkarakteristik
sendiri.
Dalam kaitan dengan Pengujian perundang – undangan,
khususnya berkaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, terdapat dua
terminology istilah yang perlu dibedakan yaitu istilah
judicial review dan
judicial preview.
Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal
dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah
kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek
yang dipandang itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga
yang lahir setelah UUD diamandemen (amandemen ketiga), yang kedudukannya
sejajar dengan Mahkamah Agung dan lembaga tinggi lainnya. Hal ini
sedikit banyak akan berimplikasi mengenai seberapa jauh kewenangan
Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil (Judicial Review) terhadap
produk UU. Kewenangan tersebut, di kalangan masyarakat menimbulkan
pertanyaan bahwsanya Undang – Undang yang mana saja yang bisa diajukan
judicial review ke MK. Apakah yang dihasilkan setelah terjadinya
amandemen ataukan juga bisa terhadap Undang – Undang yang dibuat sebelum
dilakukannya amandemen UUD.
Terdapat pasal yang cukup kontroversi
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal melakukan pengujian
undang – undang (Judicial Review), yaitu pasal 50 Undang – Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal ini menegaskan bahwa :
Pasal 50“undang-undang
yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang –undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.Selanjutnya dalam
Bagian Penjelasan Pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 dijelaskan bahwa :
“Yang
dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999”.Dari
bunyi pasal tersebut telah jelas dapat dilihat bahwasanya, MK hanya
berhak menguji UU hasil amandemen. Hal ini merupakan sebagai hukum acara
atau procedural yang menetukan bahwa MK tidak boleh menjangkau jauh
saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum amandemen pertama UUD
1945 pada 1999.
Selain itu, dasar pemikiran mengapa UU No 24
tahun 2003 menegaskan bahwasanya Mahkamah Konstitusi hanya berhak
menguji Undang – Undang setelah perubahan UUD 1945 tidak lain dan bukan
adalah ditujukan mengenai pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi itu
sendiri. Selama ini pemeberian kewenangan pengujian undang – undang
kepada Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pembatasan tertentu berpotensi
menimbulkan penyelewengan kekuasaan. Terbukti ada beberapa putusan MK
yang dipandang oleh sebagian kalangan adalah
ultra petita dan menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun Politis.
Mengenai
Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2004 tentang MK untuk membatasi wewenang MK
pada umumnya dan melakukan pembatasan pengujian undang-undang pada
khususnya, yang mana pasal tersebut oleh MK telah “diuji sendiri” dan
telah dinyatakan oleh MK RI bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan
putusan perkara dengan nomor register 066/PUU-II/2004, pendapat mayoritas Hakim Konstitusi terkait dengan pengujian Pasal 50 UU MK menyatakan bahwa:
a) P
asal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan, “
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar ...”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji;
b)
Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi,
“Pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang“,
tidaklah dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
telah dengan jelas dinyatakan dalam ayat (1) Pasal 24C;
c)
Meskipun Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 termasuk dalam
Bagian Kedelapan Bab V Hukum Acara, namun substansinya bukan semata-mata
hukum acara tetapi menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah
diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945, sehingga undang-undang
tidak dapat mengurangi atau menambahkan kewenangan tersebut. Seandainya
memang dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah, maka pembatasan
demikian harus dicantumkan di dalam undang-undang dasar sendiri dan
bukan di dalam peraturan yang lebih rendah;
d) Adanya Aturan
Peralihan Pasal I UUD 1945 yang berbunyi, “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini“, tidaklah dapat ditafsirkan
membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian
secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945;
e) Adanya
Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang pasti menimbulkan
ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok ukur
ganda: pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang
diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang
diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya
Perubahan Pertama UUD 1945;
f) Kedudukan undang-undang sebagai
pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang
berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat
aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan undang-undang
dasar. Untuk melaksanakan ayat (6) Pasal 24C UUD 1945 dimaksud, pembuat
undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik
dan dianggap tepat, namun tidak boleh mengubah hal-hal yang secara tegas
telah ditentukan oleh undang-undang dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hierarki norma
hukum yang telah diakui dan diterima secara universal;
g)
Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang
kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang dasar.
Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang
dasar. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi
dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya adalah
undang-undang dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas, wajib ditaati
oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subyek dalam hukum nasional,
segala peraturan perundang-undangan dimaksud sudah seharusnya dipahami
dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut
Prof. Dr. Harun Alrasid, dalam keterangannya sebagai ahli pada
persidangan judicial review Mahkamah Konstitusi Pasal 50, menjelaskan
bahwa “semua kewenangan yang diberikan oleh pembuat UUD kepada Mahkamah
Konstitusi adalah tanpa batas waktu, bahwa undang-undang yang
dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda (yang notabene mengandung unsur
diskriminasi) juga dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.”
Dalam
persidangan MK RI tersebut Perwakilan Rakyat RI juga menjelaskan bahwa
pada waktu pembahasan RUU MK, telah disepakati bahwa untuk melakukan
pengujian undang – undang terhadap undang – undang dasar, dimana dalam
hal ini undang – undang dasar yang dimaksud adalah UUD 1945. Namun dalam
kenyataan, cukup banyak peraturan perundang – undangan baik itu yang
berupa ordonantie, undang – undang, Perpu yang keseluruhannya telah
dijadikan undang – undang, maupun undang – undang darurat yang masih
berlaku sampai sekarang yang dilahirkan tidak berdasarkan UUD 1945
sebagai dasar yuridis, melainkan masih didasarkan baik itu atas Indische
Staatsregeling (IS), didasarkan atas UUD 1945 periode pertama pada
zaman revolusi dan UUD 1945 periode kedua setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ada juga yang didasarkan atas Konstitusi RIS, maupun
undang-undang yang masih berlaku yang didasarkan kepada UUDS 1950, yang
kesemuanya sebenarnya secara implisit mengandung pertentangan dengan UUD
1945 hasil Amandemen, namun untuk menghindari kekosongan hukum
berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, dinyatakan masih berlaku sebelum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar.
Kenyataan
inilah yang menyulitkan yang kemudian secara logis membawa konsekuensi
perlunya dibatasi hanya terhadap undang – undang yang dilahirkan setelah
perubahan UUD 1945. Hal ini tidak secara otomatis menutup kemungkinan
review atas undang-undang yang dilahirkan sebelum amandemen UUD 1945
karena berdasarkan aturan peralihan masih dibuka kemungkinan
pengujiannya melalui legislative review di DPR untuk mengkaji semua
undang-undang itu, mencabutnya, memperbaikinya, mengubahnya dan
menggantinya dengan ketentuan-ketentuan yang baru berdasarkan UUD 1945.
Pro Kontra terus berkembang menanggapi hasil putusan MK ini. Sebagian
masyarakat menganggap bahwa Pasal 50 UU MK dapat menghambat
konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi masyarakat. Hak
konstitusi masyarakat dalam artian keinginan rakyat untuk memiliki
aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak
pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali
produk perundang – undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan
politik jangka pendek tidak mempunyai visi
dan misi kedepan sehingga
masyarakat tidak berdaya. Terlebih rakyat berpandangan peraturan
perundangan yang semacam itu banyak terdapat ketika sebelum amandemen
UUD 1945.
Judicial review terhadap material hukum undang – undang
yang diproduksi sebelum amandemen UUD 1945 melalui berbagai rezim
kekuasaan tersebut di atas menunjukkan bahwa UU tidak lagi memiliki
kesempurnaan sebagaimana karakter dasarnya yang mendistribusikan nilai –
nilai yang terkandung di dalam konstitusi.
Pendapat yang sama
ditunjukkan oleh Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
Firmansyah Arifin yang menyambut baik langkah Mahkamah Konstitusi dan
menyatakan bahwa pasal 50 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya,
sekarang mahakamah harus lebih tegas guna memenuhi jaminan perlindungan
hukum yang lebih mendalam pada masyarakat. Sedangkan Undang Undang
tentang Mahmakah Konstitusi, sebenarnya tidak ditujukan untuk membatasi
kewenangan mahkamah. Tapi, adanya Pasal 50, kewenangan Mahkamah
Konstitusi menjadi terbatas yang berdampak pada terbatasinya hak
konstitusi masyarakat.
Namun sebagian pihak lain ada pula yang
menanggapi secara a contrario putusan MK ini, bahkan dari hakim anggota
MK sendiri. Tidak semua anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
diketuai Prof. Jimmly Assidique memberikan pendapat sama mengenai
pencabutan pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 tersebut. Terdapat tiga hakim
yang memiliki pendapat yang berlainan. Mereka adalah H.M. Laica Marzuki,
Achmad Roestandi, dan H.A.S. Natabaya.
Menurut Laica Marzuki,
Mahkamah Konstitusi memilki dua macam kewenangan, yaitu konstitusional
dan prosedural. Dalam Pasal 50, di antaranya memuat pengaturan salah
satu kewenangan prosedural dari mahkamah. Mahkamah tidak boleh
menjangkau jauh saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum
amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Sedangkan menurut Hakim Achmad
Roestandi, Pasal 50 sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 50 merupakan pelaksanaan dari sebagian Pasal 24C Ayat 6 UUD 1945.
Pasal 50, ditempatkan di bawah Bab V dengan berjudul Hukum Acara.
Artinya, secara tidak langsung berkaitan dengan wewenang Mahkamah
Konstitusi.
Sejalan dengan Pendapat hakim anggota di atas,
Menurut ahli hukum tata negara Albert Hasibuan, pencabutan pasal 50 ini
mengkhawatirkan bakal terjadi kesimpangsiuran dan kebingungan di
masyarakat. Kebingungan utamanya dalam hal menyangkut undang-undang mana
yang bisa diuji dan yang tidak dapat diuji. Hal ini dikarenakan undang –
undang sebelum UUD 1945 diamandemen tidak bisa diuji oleh UUD 1945 yang
belum. UUD 1945 sebelum amandemen tidak bisa diinterpretasikan Mahkamah
Konstitusi. Ini lantaran tidak ada keterkaitan dengan mahkamah.
Mahkamah hanya berhak menguji undang-undang yang diundangkan setelah
amandemen. Jika itu dilakukan, seolah-olah Mahkamah Konstutusi dapat
berbuat segala-galanya. Dan seharusnya Pasal itu sudah ditentukan
sebagai batas tugas mahkamah.
Terlihat adanya dualisme tujuan
politik disini, disatu sisi pihak yang menyetujui pencabutan pasal 50
dikarenakan pasal 50 yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu
adanya pertimbangan hukum putusan perkara nomor 066/PUU-II/2004
mengakhiri masalah pembatasan pengujian undang – undang yang ditentukan
dalam Pasal 50 UU MK dalam artian masyarakat dapat mengajukan permohonan
pengujian undang – undang yang disahkan sebelum perubahan UUD 1945 ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Sementara dari pihak
lain untuk mempertahakan pasal tersebut dengan berbagai argument yang
argumentative seperti adanya keinginan untuk membatasi kewenangan MK
agar tidak menjadikan MK merasa dan menjadi lembaga super body. Ditambah
adanya anggapan bahwa Pasal 50 sebagai landasan hukum acara yang harus
dipenuhi secara procedural.
DAFTAR BACAAN :
Prof Miriam Budiardjo, 2007, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakart
Ni’matul Huda, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang – Undang, Jurnal Konstitusi
Harjono, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan republic Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia
Achmad Edi Subiyanto, Undang – Undang Yang diuji di MK RI