PARLIAMENTARY TRESHOLD (BATAS
AMBANG PARLEMEN) dan PERKEMBANGANYA
(Tugas Mata Kuliah Parpol &
pemilu)
OLEH
RADEN MAS MARYANTO
NPM. 1112011238
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ambang batas parlemen (bahasa
Inggris: parliamentary threshold)
adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
PT
sebenarnya mulai diterapkan sejak disahkannya Undang-undangNomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
pengertian ini dapat kita lihat dari Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”. Dengan begitu
walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional
perolehan suara partai politik tersebut tidakmencapai 2,5%, maka dengan
sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi.[1]
Disinilah
letak titik lemah ketentuan tersebut diatas, karena suara rakyat pemilih parpol
yang tak lolos PT (berkisar 18% lebih) cenderung tidak dipertimbangkan sama
sekali, pertimbangan seseorang untuk memilih parpol tertentu pada dasarnya
dikarenakan kesesuaian antara platform partai yang diperjuangkan dan ini
mencederai hak asasi pemilih yang diakui dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bagi para penyusun undang-undang ini, mungkin ini merupakan
salah satu cara untuk mengurangi lawan di parlemen, sehingga daya saing mereka
meningkat. Dengan semakin banyaknya partai dibandingkan pemilu 2004 yang lalu,
karena tidak semua partai dapat masuk ke DPR. Dampak bagi masyarakat adalah,
para partai yang merasa dirinya partai besar, akan lebih semenamena dalam
membuat undang-undang, sehingga makin banyak undang-undang yang akan masuk ke
dalam Mahmakah Konstitusi untuk di uji dengan undang-undang dasar 1945. Ismail
Sunny dalam bukunya Demokrasi Menurut Pancasila menyebutkan bahwa tujuan
penyelenggaraan Pemilihan Umum (general election) atau pemilu itu pada
pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu :[2]
1. untuk
memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan
damai;
2. untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di
lembaga perwakilan;
3. untuk
melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
4. untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga.
Dalam
hal ini ketentuan PT tidak lebih baik dari ET, karena pemberlakuan PT lebih
mengebiri prinsip-prinsip hak asasi warga. Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui
bahwa PT kurang
baik
dan inkonsisten.11 Namun meskipun tidak baik karena itu bukan bidang MK, maka
MK tidak boleh membatalkan.
Rumusan Masalah
1. Apa
Parliamentary threshold ?
2. Bagaimana
perkembangan parliamentary threshold?
Tujuan
1. Mengetahui
apa yang di maksud dengan parliamentary threshold
2. Mengetahui
bagaimanaka perkembangan parliamentary treshold
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Parliamentari Treshold
Ketentuan
parliamentary treshold di masing-masing Negara memiliki konsep yang berbeda
yang pada umumnya di pengaruhi oleh konsep historis dan Culture Negara
tersebut. Tidak ada besaran resmi bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary
threshold. Beberapa referensi mengenai parliamentary threshold dibeberapa
negara menunjukkan variable yang berbeda. Negaranegara di dunia yang menerapkan
parliamentary threshold, tidak ada batas mutlak bagi setiap negara.
Batas mutlak ini tidak membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara
untuk menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari
mekanisme parliamentary threshold.
Di
Indonesia Parliamentary threshold merupakan syarat ambang batas
perolehan suara partai politik untuk
bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai
politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional.
Ketentuan
tersebut diterapkan dalam Pemilihan Umum 2009, ketentuan tersebut dirumuskan secara
implisit dalam Pasal 202 Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah[3].
Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
1. Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum harus memenuhi ambang batasperolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR.
2. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan
kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
Sedangakan
di beberapa negara menerapkan ambang batas penempatan anggota parlement oleh
partai politik sangat bervariasi dimulai dari angka 2 % sampai dengan 5 % angka
angka tersebut tidak dapat di jelaskan dari mana perolehannya yang pasti angka
tersebut telah disepakati oleh parlemen yang merupakan perwujudan dari kehendak
rakyat Di Indonesia penetapan angka 2.5 % tersebut dinilai oleh beberapa pihak
dalam hal ini anggota partai politik adalah inkonstitusional (tidak
sesuai dengan konstitusi).
Mereka
adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi
Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai
Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai
Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru
(PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan),
Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan
Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol
peserta Pemilu 2009.[4]
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan
bahwa Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal
208, dan Pasal 209
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) Inkonstitusional
( bertetangan dengan Konstitusi )
Dalam
Proses persidangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan salah satu dari pemohon
dinyatakan tidak memiliki kedudukan sebagai legal standing dalam perkara no 3/PUU-VII/2009
karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Dalam
Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan
bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy
bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold maupun
parliementary threshold. Dalam pertimbanagn putusan tersebut diuraikan
“Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan
kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang- Undang tentang Sistem
Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk
membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,”
Sedangkan
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut Mahkamah Kontitusi ,
adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang- Undang untuk menentukannya tanpa
boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik,
kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.[5]
Namun
dalam Putusan tersebut diuraiakan pula Dissenting Opinion dari Hakim Konstitusi
lain yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penetapan besaran angka electoral
threshold maupun parliementary threshold..
Menurut
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan berpendapat bahwa, Pasal 203, Pasal 205,
Pasal 206, Pasal207, Pasal 208, dan Pasal 209 UU 10/2008 tersebut dalam
kenyataannya tidak memperhitungkan dan tidak mempertimbangkan secara cermat
norma-norma, jiwa, dan semangat konstitusi dalam UUD 1945, yang justru harus
menjadi sumber legitimasi dari seluruh produk perundangundangan yang dibentuk.
Kebijakan yang dianut. juga jelas bersifat coba-coba, yang merupakan perubahan
atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat
Daerah yang menggunakan electoral threshold sebagai mekanisme penyederhanaan
partai, yang belum sempat diterapkan sebelum kemudian beralih kepada
perliamentary threshold dan sejumlah threshold lainnya. Oleh karenanya, tidak
dapat juga dielakkan timbulnya kesan yang kuat bahwa kepentingan-kepentingan
sesaat sangat berpengaruh pada kebijakan yang dilahirkan, dan tidak diuji
secara keras kepada prinsip-prinsip konstitusi, yang seharusnya wajib dipatuhi
dan dilindungi serta diwujudkan oleh pembentuk Undang-Undang (Obligation to
protect, to guarantee and to fulfill).
Ketentuan
parliamentary threshold 2,5% (dua komalima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkandalam penentuan perolehan kursi DPR,
sungguh-sungguh mengesampingkan prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakanoleh
rakyat pemilih untuk memilih wakilnya di DPR, akan tetapi tidak dijadikan tolok
ukur untuk DPRD. Hal demikian dilakukan dengan dalih untuk melakukan
penyederhanaan partai politik yang berada di DPR sebagai salah satu strategi
penguatan sistem presidensiil.
Sedangkan
dissenting opinion yang lainnya muncul dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Beliau menyatakan Bahwa UUD 1945 telah meletakkan “prinsip kedaulatan rakyat”
menjadi “prinsip utama konstitusi” dan sekaligus menjadi “moralitas konstitusi”
yang tidak hanya member semangat dan warna serta pengaruh dalam menentukan
berbagai bentuk perundang-undangan dibidang politik melainkan juga memberikan
“sifat dan warna tersendiri”kepada bentuk pemerintahan;Pemilihan umum sebagai
sarana demokrasi dalam rangka mewujudkan “prinsip kedaulatan rakyat” haruslah
diletakkan kepada besarnya suara pilihan rakyat terhadap wakil yang dipilihnya.
Adapun besarnya mandat rakyat yang diberikan kepada calon yang dipilih
menunjukkan tingginya legitimasi politik yang kuat kepada calon yang
bersangkutan, sehingga dengan diperolehnya legitimasi yang kuat dari rakyat
tersebut dengan sendirinya memperkuat akuntabilitas yang akan lebih mudah mengagregasi
kehendak rakyat yang diwakilinya; Alasan penyederhanaan partai agar memperkuat
sistem presidensill ini menurut Akil adalalah bertentangan dengan UUD 1945 dan
seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena dengan
alas an tersebut diatas memiliki akibat terjadinya perlakuan yang tidak sama
serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan
(injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Adanya
putusan 52/PUU-X/2012 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menganulir pasal 8 ayat 1 ayat 2,dan pasal 208 dalam udang-undang no 8 tahun
2012 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilar rakyat, dewan perwkilan
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah(UU no 8 tahun 2012) sangat patut di
apresiasi . hal tersebut meruapkan upaya unukmengikis kesenjanhan politik yang
dialami antaar kekuatan partai politik lama dengaqn kekuatan partai politik
baru setidaknya putusan tersebut juga
menyiratkan untuk mengurangi rezim oligarki dalam pembentukan UU poloitik untuk
mengurangi egoism dalam menjaga kekuasaanya, Adapun pembentkan UU politik ini
sebelumnya bmengundang polimik dan kegaduhan menjelang oemilu 2014,
polemokmtersebut adalah menyoal penetapan ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) sebesar 3,5 % yang dilakukan dalam proses electoral baik dalam
tingkat local maupun nasional,selain itu di wajibkan pula adanta aturan
verifikasi terhadap partai politik non parlemen sebagai persyaratn ikut vdalam
pemilu 2014 juga di nilai untuk menjegal adanya partai baaru secara
sistematik-konstitusional. Tentunya hal ini memanacing reaksi keras dari 22
partai kecil yangt melihat aturan tersebut sangatlah diskriminatif mengingat hal itu sama saja mengurangi partisipasi
aktif warga Negara lainya untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik
praktis.
Dalam RUU Pemilu yang tengah digodok di DPR, konsep
penyerderhanaan parpol masih menggunakan konsep Electoral Threshold (ET).
ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti
Pemilu berkutnya. Dalam pasal 9 ayat (1)
UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur ntuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga
persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang
tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di
Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro)
Hadar Navis Gumay berpendapat ET berpotensi melanggar konstitusi. Pasalnya,
sebuah parpol yang tidak mencapai batasan ET diharuskan membubarkan atau
mengabungkan diri jika ingin ikut Pemilu berikutnya. Hal ini dinilai bertentangan
dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul
bagi setiap warga negara.
Lebih lanjut, Hadar mengatakan ukuran efektivitas sistem presidensial bukan
terletak pada jumlah parpol dalam Pemilu, melainkan jumlah parpol dalam
Parlemen. Untuk itu dia merekomendasikan
menggunakan Parliamentary Threshold (PT)
karena diyakini lebih efektif
membatasi parpol di parlemen. Dalam PT ambang
batas ditetapkan kepada parpol untuk mengirimkan wakilnya ke parlemen. Fokusnya
adalah mengurangi jumlah parpol di parlemen, bukan di pemilu, terang Hadar.
Dia menjelaskan melalui parliamentary threshold sebuah partai tidak perlu membubarkan atau
menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Pembubaran parpol
dalam PT bisa dilakukan bila bertentangan dengan konstitusi, Bukan karena tidak
berprestasi, tukasnya.
Parliamentary
threshold dinilai lebih efektif menjaring parpol yang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat. Karena selama ini banyak
elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik. Jadi,
mereka kurang peduli dengan perkembangan parpol yang mereka dirikan, ujar
Hadar.
Hal ini diamini oleh Bivitri Susanti dari Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Bivitri mengatakan keterwakilan parpol di DPR
diukur berdasarkan kualitas dan kinerja bukan bedasarkan jumlah. pembatasan
jumlah parpol dalam DPR logis dari segi kinerja,ungkapnya. Sementara, Nia Sjarifudin dari Gerakan Pemberdayaan Swara
Perempuan menuturkan bahwa Electoral threshold tidak menarik bagi
perempuan dan partai kecil, ujarnya.[6]
Parliamentary
Threshold diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tak
beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR.
Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus.
Kemudian, Pasal 202 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa konsep
parliamentary threshold tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep ini merupakan konsep yang bagus untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan politik negara-negara berkembang tentang hubungan presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep ini merupakan konsep yang bagus untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan politik negara-negara berkembang tentang hubungan presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi.
Mainwaring mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin.
Dampak multipartai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multipartai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bisa dengan kepentingan primordial masing-masing
Wacana penyederhanaan partai politik semakin mengemuka terutama ketika membahas Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Secara teoritis, dalam sistem Presidensiil yang dianut oleh Indonesia, lebih cocok disandingkan dengan sistem multi-partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan Indonesia selama ini lebih cocok untuk digunakan dalam sistem parlementer. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk membatasi jumlah partai yang politik yang duduk di parlemen, antara lain melalui Electoral Threshold atau melalui Parliamentary Threshold seperti yang dianut oleh Jerman.
Parliamentary Threshold di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut menjelaskan ketentuan yang berlaku dalam pasal 202, yaitu :
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan begitu walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara partai politik tersebut tidak mencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen.
Tentunya kita bertanya kemana suara parpol yang tidak sampai memperoleh ambang batas 2,5% tersebut? Konsekuensi dari pemberlakuan undang-undang tersebut, suara parpol otomatis hilang/ hangus, sehingga kemudian suara tersebut tidak ikut dihitung, hanya parpol yang mencapai 2,5% suara sah nasional atau lebih saja yang diikutsertakan dalam perolehan kursi. Namun ketentuan Parliamentary Threshold tidak berlaku bagi pembagian kursi di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Disinilah letak titik lemah ketentuan tersebut diatas, karena suara rakyat pemilih parpol yang tak lolos Parliamentary Threshold (berkisar 18% lebih) cenderung tidak dipertimbangkan sama sekali, pertimbangan seseorang untuk memilih parpol tertentu pada dasarnya dikarenakan kesesuaian antara platform partai yang diperjuangkan dan ini mencederai hak asasi pemilih yang diakui dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi para penyusun undang-undang ini, mungkin ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi lawan di parlemen, sehingga daya saing mereka meningkat. Dengan semakin banyaknya partai dibandingkan pemilu 2004 yang lalu, karena tidak semua partai dapat masuk ke DPR.
Sehingga ketentuan Parliamentary Threshold ini menimbulkan persoalan bagi sebagian kalangan, utamanya partai kecil, yang tidak mendulang banyak massa. Kekhawatiran muncul karena tipisnya harapan untuk duduk di DPR dan ikut menjadi penentu kebijakan nasional. Sementara keikutsertaan dalam pemerintahan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Kekhawatiran lain juga muncul karena hanya partai besar saja yang dipastikan akan memperoleh kursi di DPR sehingga hanya kepentingan partai besar yang akan terpenuhi. Sementara partai kecil mengklaim bahwa mereka membawa kepentingan rakyat kecil yang selama ini gagal diperjuangkan oleh partai besar lainnya. Hal paling ekstrim yang dikhawatirkan sebagian kalangan adalah ketakutan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini akan membawa Indonesia kembali pada era Orde Baru dimana parlemen dikuasai oleh partai besar dan dekat dengan kekuasaan.
Ismail Sunny dalam bukunya Demokrasi Menurut Pancasila menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum (general election) atau pemilu itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu :
1. Melaksanakan
prinsip kedaulatan rakyat;
2. memungkinkan
terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
3. untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di
lembaga perwakilan;
4. untuk
melaknakan prinsip hak-hak asasi warga.
Dalam hal ini ketentuan Parliamentary Threshold (PT) tidak lebih baik dari Electoral Threshold (ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya), karena pemberlakuan PT lebih mengebiri prinsip-prinsip hak asasi warga. Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui bahwa PT kurang baik dan inkonsisten. Namun meskipu12/10/11 1:10 AMn tidak baik karena itu bukan bidang MK, maka MK tidak boleh membatalkan.
Karena adanya kekhawatiran tersebut, maka ketentuan Parliamentary Threshold ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk di uji dengan undang-undang dasar 1945.
Pemohon perkara tersebut adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.
Mereka menganggap Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang terkait dengan pemberlakuan Parliamentary Threshold tidak konstitusional.
Di antara ketiga kelompok Pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa hanya anggota Parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi syarat sebagai Pemohon, karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Terkait dengan pokok permohonan, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold (ET) maupun Parlimentary Threshold. “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,” ucap Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan putusan.
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut MK, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Hal ini tertuang dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009.
Kebijakan
hokum ambang batas parlemen atau parliamentary threshold merupakan cara untuk
mewujudkan politik hokum menuju system muti partai yang sederhana,. Kebijakan
ini telah di berlakukan sejak pemilu 2009 untuk menggantikan electoral
threshold. Dalam putusan nomor 3/PUU-VII/2009, MK menilai penerapan ambang
batas parlemen sebagai kebijakn ayang lebih demokratis karena tidak mengancam
eksistensi partai politik dan keikutsetaanya dalam pemilu berikutnya yaitu
pemilu 2014.[7]
Penerapan
ambang batas parlemen mengandung konsekuensi hilangnya sejumlah suara yang
memilih partai tertentu yang tidak memenuhi besaran angka yang telah di
tentukan. Oleh karena itu perlu di perhatikan sesuai dengan prinsip demokrasi ,
dalam penentuan besaran Parliamentary
threshold tersebut tidak boleh merugikan kelompok masyarakat tertentu terutama
minoritas. Penentuan besran ambang batas parlemen harus memperhatikan
keberagaman masyarakat Indonesia yang tercermin dalam aspirasi politik.
Penentuan parliamentary threshold perlu ndilakukan secara proporsional, antara
politik hokum penyederhanaan kepartaian dan perlindungan terhadap keragaman
politik. Penentuan besaran ambang batas parlemen juga jangan sampai hanya di
lakukan berdasarkan pertimbangan keuntungan dan kerugian yang akan di dapat
oleh partai politik.[8]
BAB
III
KESIMPULAN
Parliamentary
Treshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
Ketentuan mengenai
parliamentary threshold dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[9].
Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
1. Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum harus memenuhi ambang batasperolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR.
2. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan
kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
Parliamentary Threshold
di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tersebut menjelaskan ketentuan yang berlaku dalam pasal 202,
yaitu :
(1)
Partai Politik Peserta Pemilu harus
memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota.
Dengan begitu walaupun
suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara
partai politik tersebut tidak mencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak
diikutsertakan dalam pembagian kursi. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu
hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail
Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi,Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu
Populer.
M.
janedri Gafar, 2012, Politik Hukum pemilu,
Jakarta : Konstitusi Press.
Warsito
Rahardjo,2013, Menuju Pemilu System
Pemilu Dengan Ambang
Batas Parlemen
Yang Afirmatif, Yogyakarta : Fakultas Isipol
Universitas Gadjah Mada
Risalah
Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10
Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD
terhadap UUD 1945
Eka
N.A.M Sihombing, 2009, Jurnal konstitusi;
Pemberlakuan
parliamentary threshold dan
kaitanya dengan Hak Asasi Manusia
volume 1 nomor 1
, medan : Universitas sumatera utara.
Agung Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”
[1]
Jurnal Konstitusi USU VOL 1 Hal 34
[2]
Ismail Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007),
hlm.754.
[3]
Agung
Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”, (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/83-sistem-multipartai-di-indonesia.html), diakses pada hari Senin, tanggal 6
Mei 2014,
Pukul 10.44 WIB.
[4]
LPPM Jurnal 2011, hal 5
[5]
Risalah
Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945
[6] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18498/iparliamentary-thresholdi-lebih-efektif-menjaring-parpol-berkualitas-
di akses pada 07 mei 2014 pkl 08.10
[7]
Janedjri M. Ghafar, politik Hukum Pemilu,
Konstitusi Press ,2012, hal 33
[8]
Ibid hal 35
[9]
Agung
Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”, (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/83-sistem-multipartai-di-indonesia.html), diakses pada hari Senin, tanggal 6
Mei 2014,
Pukul 10.44 WIB.
1 komentar:
rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com
Posting Komentar