A. HUMAN TRAFICKING
DI KALANGAN WANITA DAN ANAK-ANAK
B. Latar Belakang
perdagangan
manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak berapa bulan
terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Berdasarkan laporan
Departemen Luar Negeri AS 12 Juni 2001 mengenai Trafficking in Persons, bersama
dengan 22 negara lainnya, Indonesia dipandang sebagai sumber trafficking,
baik untuk kepentingan dalam negeri maupun mancanegara (Kompas, 27 September
2001). Ketua Komnas Perlindungan Anak mengatakan bahwa Indonesia di tahun 2012
sendiri tentang kasus perdagangan anak meningkat tajam hingga 71% dari tahun
sebelumnya.
Di Indonesia,
kasus perdagangan anak yang sangat menonjol biasanya terjadi di daerah
perbatasan dengan negara tetangga, seperti Riau, Medan, dan Kalimantan Barat,
yang secara geografis dekat dengan Singapura dan Malaysia. Selain itu, kasus
perdagangan anak juga banyak dijumpai di kota-kota metropolitan seperti
Jakarta, Surabaya, Denpasar, Semarang dan Bandung. Menurut ACILS dan JARAK,
khusus untuk Provinsi Jawa Timur daerah yang rawan dan potensial terjadinya women
and child trafficking adalah Banyuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan
Trenggalek. Pendek kata, sepanjang di sebuah wilayah terjadi proses
marginalisasi dan dapat dijangkau mata rantai sindikat mafia perdagangan anak,
dan sebaliknya di wilayah yang lain berkembang sektor pariwisata yang bercampur
dengan kompleks lokalisasi, maka sepanjang itu pula korban baru praktis
perdangangan anak akan terus bermunculan.
PBB
mengkategorisasikannya sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu penanganan
khusus. Oleh karena itu, pada tahun 1994, ketua Komisi HAM menunjuk Mrs.
Radhika Coomaraswamy sebagai Special Rapporteur on Violence against Women
dan ditugaskan untuk mengumpulkan data dan masukan apa penyebab dan konsekuensi
perdagangan manusia.
Isu perdagangan
perempuan di Indonesia mengemukakan dalam kongres ke-2 Persatuan Perkumpulan
Isteri Indonesia (PPII) di Surabaya tahun 1930. Penelitian Wieringa[1][2]menunjukan
bahwa dalam kongres ini perdagangan perempuan menjadi topik utama.
Perdagangan
perempuan semakin menjadi-jadi pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu,
pengerahan perempuan dilakukan penjajah Jepang dengan alasan perang dan
kemakmuran Asia Timur Raya. Hartono dan Juliantoro[3].menemukan berbagai cara rekrutmen dalam
perdagangan perempuan ini. Pertama, melalui saluran-saluran resmi yang digagas
Jepang, dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan masal, seperti
pembantu rumah tangga, pemain sandiwara, atau pelayan di restoran. Kedua,
melalui jalur resmi aparat pemerintahan. Pada Konferensi Perempuan Sedunia ke-3
tahun 1985, Forward Looking Strategies membatasi diri pada ‘perdagangan
perempuan untuk tujuan prostitusi dan prostitusi paksa’ sebagai sebuah bentuk
perbudakan.
Padahal di
Indonesia sendiri ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera. UU No.23 Th 2002 tersebut secara tegas mengatur tentang
perdagangan anak. UU No.23 Th 2002 tersebut secara tegas mengatur tentang
perdagangan anak. Perdagangan anak terjadi ketika anak dipandang sebuah obyek
yang dapat di perjual belikan layaknya sebuah barang untuk tujuan tertentu yang
biasanya merupakan sebuah eksploitasi. Hak-hak yang dimiliki seorang anak sudah
tidak di pedulikan lagi keberadaannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu
1. Penjelasan
teoritis perilaku menyimpang yang berspektif sosiologi dalam trafficking in
persons.
2. Pengertian trafficking
in persons?
3. Siapa saja yang
terlibat dalam proses tindak kasus trafficking in persons.
4. Modus apa saja
dalam trafficking
in persons.
5. Contoh kasus trafficking
in persons.
6. Analisa masalah
dalam trafficking in persons.
7. Sebab terjadi banyak
korban trafficking.
D. PEMBAHASAN
a. Penjelasan
Teori Sosiologis dalam Trafficking
Dalam perspektif sosiologi perilaku menyimpang
Perdagangan dan Penculikan Anak karena terdapat penyimpangan perilaku yang
sering disebut adalah hasil dari proses belajar. Salah seorang ahli teori
belajar yang banyak dikutip tulisannya adalah Edwin H. Sutherland (dalam
Atmasasmita, 1992:13). Ia menanamkan teorinya dengan Asosiasi Diferensial.
Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan
penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang
menyimpang, terutama dari subkultur atau di antara teman-teman sebaya yang
menyimpang.
Meskipun teori Sutherlland ini secara spesifik
digunakan untuk menganalisis kejahatan dan perilaku menyimpang yang mengarah
pada tindak kejahatan, tetapi teori ini bisa digunakan juga untuk menganalisis
bentuk-bentuk lain perilaku menyimpang, seperti pelacuran, kecanduan
obat-obatan, alkoholisme, perilaku homoseksual dan khususnya perdagangan dan
penculikan anak. Motif seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih
menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak. Apabila seseorang
bernggapan seperti itu karena tidak ada sanksi atau hukuman yang tegas, atau
orang lain membiarkan suatu tindakan yang dapat dikategorikan menyimpang, maka
mudahlah orang berpeilaku menyimpang.
b. Pengertian Trafficking (Perdagangan) Anak dan
Perempuan
Krisis moneter
berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan
sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan
yang lebih baik kepada anak dan perempuan mendapatkan uang. Banyak anak dan
perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur
oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker(orang yang
memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi
sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Child and Women
Traffiking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau
penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, member atau menerima pembayaran untuk memperoleh
keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas
orang lain untuk tujuan eksploitasi. Bentuk dari eksploitasi tersebut adalah
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Dampak negatif dari kekerasan yang dialami menimbulkan bekas seperti fisik,
psikologi, seksual, financial, spiritual, dan fungsionalnya terganggu.
Perdagangan
orang (trafficking in persons) merupakan kejahatan yang keji terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak
disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak
diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi
korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka
pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya
baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan,
kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.
Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa
dan generasi penerus bangsa Indonesia.
c. Pelaku dan Motif
Pola-pola
perdagangannya diawali dengan tahap manipulatif. Calon korban tidak diberi opsi
tentang apa pekerjaan, dan risikonya. Biasanya mereka dibawa ke luar kota dan
dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Adakalanya oleh calo, korban dan
keluarganya sudah dimintai uang atau diberi status berutang. Pada saat
bersamaan, juga terjadi pemalsuan Kartu Tanda Penduduk agar korban dianggap
cukup umur.
Dalam tahap ini
ada juga anak-anak yang memang sengaja dijual oleh orangtua, atau paling tidak
orangtuanya mendapat sejumlah uang sebagai pengganti izin bagi kepergian
anaknya. Konsep budaya Fillial Piety, yaitu kewajiban anak untuk berbakti
kepada orangtua, menjadi factor pendorong keluarnya seorang anak dari tempat
tinggalnya. Pada tahap kedua, korban dibawa dan dipaksa tinggal di tempat
penampungan yang sangat tidak layak. Kartu identitas dan semua uangya diambil
sehingga korban terpaksa tinggal dan tidak bisa melarikan diri. Kemudian,
korban “dipindah tangankan”dari satu calo ke calo yang lain, dengan diikuti
sejumlah transaksi pembayaran. Tahap berikutnya, korban diberi pekerjaan
sebagai buruh kasar, pekerja seks komersial untuk bisnis hiburan dan termasuk
untuk kepentingan militer, dilibatkan dalam penyelundupan obat terlarang
(narkotika), dijadikan pengemis, dilibatkan dalam penjualan bayi dan sebaginya.
Pada tahap ini mereka sering mengalami kekerasan, dianiaya atau diperkosa.
d. Modus
Selama ini,
modus yang dikembangkan pelaku atau sindikat yang memperjual-belikan anak
perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial relatif
bermacam-macam. Sebagian mungkin dengan bujuk rayu dan penipuan, tetapi tak
jarang pula terjadi dengan cara kekerasan atau paksaan.
Seorang anak
perempuan yang tampak kebingungan di tempat-tempat keramaian, seperti terminal,
jalan raya, atau stasiun KA, niscaya mereka adalah calon korban yang potensial
kasus child trafficking. Di samping mengandalkan bujuk-rayu dan janji-janji
yang melambung, tak jarang para anggota sindikat perdagangan anak perempuan
mencari korban baru dengan memaksa, mengancam korban, dan bahkan jika perlu
memerkosanya lebih dulu sebelum menyerahkan kepada germo yang menampungnya
kemudian. Korban biasanya tidak bias berbuat banyak atas nestapa yang mereka
alami, sebab selain takut intimidasi, mereka biasanya juga terputus saluran
komunikasi dengan dunia luar.
Anak-anak yang
berasal dari keluarga miskin, anak-anak yang kehilangan keluarganya akibat kerusuhan,
pengungsi anak, dan anak-anak korban child abuse dalam keluarga mereka semua
umumnya potensi menjadi korban penipuan dan diperdagangkan untuk berbagai
keperluan, terutama untuk kepentingan bisnis prostitusi.
Modus lain
berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan
atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan
biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang
supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian
dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia
melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan
janji untuk disekolahkan.
E. Beberapa Contoh Kasus dari Traffiking:
1. Di Maluku Utara misalnya, anak-anak yatim yang
menjadi korban kerusuhan, dangan kedok akan disekolahkan ke pondok pesantren,
ternyata setiba di tempat tujuan justru di jual dan di perkerjakan sebagai
pembantu rumah tangga. Bagi keluarga yang menginginkan anak-anak itu, mereka
harus menebus 175 ribu dengan alasan sebagai pengganti biaya perjalanan dari
Pulau ke Ternate.
2. Komnas Perlindungan Anak juga mensinyalir,
sebagian anak-anak pengungsi dari Atambua ternyata diperdagangkan untuk
diperkerjakan menjadi PSK (pekerja seks komersail). Sementara itu, di Sulawesi
Tengah, seorang ibu dilaporkan tega menjual anak kandungnya yang masih berusia
7 bulan seharga 500 ribu hanya karena alasan ekonomi dan keinginan untuk
membeli tape recorder.
3. Di Surabaya, pertengahan bulan November 2000
lalu juga diberitakan kasus eksploitasi dan perdagangan seksual beberapa remaja
putri oleh pasangannya sendiri, entah karena alasan untuk hidup ataukah karena
mereka terjerat pada pengaruh narkoba yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Ceritanya, entah karena terlena oleh bujuk rayu atau karena ketergantungan dan
paksaan, beberapa anak-anak perempuan terpaksa pasrah ketika diminta
pasangannya untuk menjajakan diri. Mereka baru berontak dan melaporkan kejadian
itu kepada polisi ketika tindakan pasangannya sudah dianggap melampaui batas.
4. Di Surabaya, misalnya Juli 2002 lalu dilaporkan
di media masa bagaimana aparat kepolisian berhasil mengungkap praktik
perdagangan anak perempuan yang dipaksa bekerja di sektor prostitusi. Menurut
pengakuan salah satu pelaku, paling tidak sudah ada lima anak perempuan di
bawah 18 tahun yang diperdaya dan kemudian dijual ke germo di kompleks
lokalisasi di Surabaya. Harga persatu korban rata-rata 1 juta rupiah. Modus yang
dikembangkan pelaku adalah mereka mencoba mendekati korban, mencarinya,
kemudian setelah berhasil diperdaya dan korban tertipu menyerahkan
keperawanannya, baru kemudian korban dijual ke germo yang sudah menjadi
langganan mereka.
5. Ciawi, Setelah lebih dari sebulan tak pulanh
kerumah, akhirnya Putri Rusdianti (20) warga RT 04/06, Kampung Ranji, Desa
Telukpinang akhirnya dilaporkan pihak keluarga ke Mapolsek Ciawi, kemarin. Ibu
korban, Yanti (40) mengatakan, anaknya meninggalkan rumah sejak Minggu (4/11).
Saat itu, Putri berpamitan bersama temannya Novia (19) untuk menghadiri pesta
ulang tahun di kawasan Tajur, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor.Namun, hingga
malam hari Putri tak pulang.“ Sejak malam itu, saya langsung mencari dan
bertanya kepada teman-temannya, tapi mereka tak tahu,” ungkapnya.Penasaran,
Yanti kemudian mendatangi rumah Novi namun tak membuahkan hasil. “ Katanya,
anak saya sudah pulang,” ujarnya saat di Mapolsek Ciawi.Yanti menambahkan,
anaknya memiliki ciri tinggi sekitar 160 cm, rambut hitam lurus panjang dan
tahi lalat kecil di bagian bibir sebelah kiri.
F. Analisis Masalah
Daftar kasus
perdagangan anak dan perempuan yang terjadi di tanah air selama ini sudah tentu
masih bisa terus diperpanjang. Tetapi, terlepas dari soal jumlah dan berapa
angka kejadian yang pasti, sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia (HAM), kasus perdagangan anak dan perempuan sungguh harus dikutuk dan
dicegah perkembangannya karena implikasinya sangat merugikan korban. Berbeda
dengan kasus kriminal biasa di mana korban barangkali hanya menderita kerugian
harta benda atau lika fisik di tubuh. Dalam kasus ini, korban dalam banyak hal
harus mengalami penderitaan ganda yang bertubi-tubi. Mereka bukan saja harus
kehilangan kebebasan, dieksploitasi dalam jam kerja yang panjang, tercabut dari
akar budaya, dan habitat asalnya, atau terpaksa terpisah dari keluarga, dan
teman. Lebih dari itu, anak dan perempuan yang menjadi korban sering kali juga
harus menerima stigma sosial yang merugikan: dicap sebagai wanita tuna susila,
anak haram, anak pungut atau bahkan menjadi budak terselubung.
g. Mengapa bisa terjadi banyak korban Trafficking?
Mengapa hal ini bisa terjadi dan banyak memakan korban gadis
– gadis remaja kita ? ada beberapa faktor utama yang harus dicermati, antara
lain : Para BMI tidak mempunyai akses langsung terhadap PT atau Lembaga yang
membutuhkan tenaganya, sehingga banyak calon BMI sangat mudah terkena tindak
penipuan yang dilakukan oleh para Calo maupun PT penyalur tenaga kerja bahkan
Calon BMI tidak tahu tentang pekerjaanya dan gaji yang sebenar – benarnya. Dan
ini lebih diperparah lagi manakala Pihak PT, merubah identitas atau mengganti
identitas calon BMI dengan alasan untuk mempercepat keberangkatan calon korban.
Jika para BMI sesampai di negara tujuan , dan merasa dirinya menjadi korban Trafficking,
para BMI tidak tahu tempat dan memang tidak ada tempat pengaduan bagi mereka
korban Trafficking, seandainya mereka meminta perlindungan ke Kedutaan,
atau Konsulat RI yang ada di negara tujuan tersebut, cenderung tidak dilayani
dengan baik dengan alasan cukup klasik yaitu tidak adanya tenaga dan anggaran
yang kusus tersedia untuk itu , sehingga banyak permasalahan korban trafficking
dinegara tujuan tidak terselesaikan dengan tuntas.
h. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak
Di tengah situasi krisis yang tak kunjung usai,
harus diakui bukan hal yang mudah untuk mengerem laju pengiriman tenaga kerja
ke luar negeri atau ke luar daerah khususnya ke berbagai kota besar dan pusat
industri di belahan Nusantara. Namun dengan melihat ekses negatif yang di
timbulkan, maka kasus migrasi anak dan tenaga kerja perempuan dengan sukarela
atau paksaan yang belakangan ini berkemban di masyarakat sudah sepantasnya jika
kemudian dicermati secara lebih mendalam. Lebih dari sekedar memberikan bekal
keterampilan dan keahlian berbahasa plus etos kerja keras yang acap kali
menjadi isi kurikulum pusat latihan TKW dan TKI yang ada, sebetulnya yang
dibutuhkan anak dan perempuan yang hendak mengadu nasibmencari kerja ke luar
provinsi atau ke luar negeri adalah perlindungan dan program pemberdayaan
soaial yang benar-benar nyata.
Baru pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan Presiden
No.36 tahun1990, Pemerintah Indonesia setelah didesak oleh berbagai kelompok
aktifis yang concern terhadap perempuan dan anak serta para Akademisi, baru
bersedia meratifikasi sebuah Konvensi Hak – hak Anak (KHA) yang diambil
langsung dari Human Right ( PBB ). Merujuk KHA yang sudah diratifikasikan dalam
tata hukum di Indonesia, maka dalam Propenas tahun 2000 – 2004 , digariskan
upaya untuk memenuhi hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,
perlindungan dan partisipasi anak yang salah satunya dilaksanakan melalui
kesejahteraan dan perlindungan anak.
“UU” No.39 Tahun 1999, Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hokum yang
adil serta mendapat kepastian hokum dan perlakuan yang sama di depan hokum”.
Dan
juga dalam pasal 63 – 66 tentang Hak– Hak Manusia, secara khusus menyatakan
bahwa anak – anak berhak dilindungi dari berbagai sebab, baik exploitasi
ekonomi, exploitasi dan penyalah gunaan secara sex, penculikan, perdagangan,
obat – obatan dan penggunaan narkoba, dari hukum yang kejam dan tidak
manusiawiserta dilindungi selama proses hukum. Dalam Amandemen UUD 1945
mengenai hak anak untuk mendapat perlindungan tercantum dalam pasal 28B (2) ,
sehingga berdirilah KomNas Perlindungan Anak ditingkat Nasional dan Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) di 18 Propinsi. Dengan demikian ada konsekuensi logis
terhadap orang tua , bisa terpidanakan dikarenakan kelalaiannya atau
kesengajaannya sehingga anak terekploitasi salah satunya untuk ekonomi maupun
tindakan seksual atau yang lainnya.
D. KESIMPULAN
Di Indonesia,
perdagangan anak dan perempuan yang belakangan ini makin marak, bukan saja terbatas
untuk tujuan prostitusi paksaan atau perdagangan seks melainkan juga meliputi
bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktik seperti perbudakan di
beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri
pesanan.
Modus yang dikembangkan
pelaku atau sindikat yang memperjual-belikan anak perempuan untuk kepntingan
bisnis pelayanan jasa seksual komersial relatif bermacam-macam. Sebagian
mungkin den gan cara bujuk rayu dan penipuan, tetapi tak jarang pula terjadi
dengan cara kekerasan atau paksaan.
Dalam kasus
penculikan dan perdagangan anak yang pernah terjadi di tanah air, motif pelaku
melakukan penculikan anak relatif beragam. Secara garis besar, biasanya motif
yang melatar belakangi sebagai berikut: (1) praktik penculikan anak yang
dimanfaatkan sebagai tenaga kerja paksa, baik itu di sektor industri, sebagai
TKI, maupun untuk sekedar di jadikan pengemis atau anak jalanan di bawah
komando seorang preman yang sangar dan jahat, (2) praktik penculikan anak
sebagai bagian dari modus kriminal untuk memperoleh uang besar dalam jangka
waktu pendek, (3) kasus penculikan anak dan perdagangan untuk dijadikan korban
kekerasan seksual, baik untuk diperkerjakan sebagai PSK maupun untuk
kepentingan perbudakan yang dibungkus dengan kedok perkawinan, (4) praktik
penculikan anak untuk diperjual-belikan di luar negeri, baik untuk dimanfaatkan
organ tubuhnya maupun untuk dijadikan anak adopsi oleh keluarga tertentu yang
menginginkan anak angkat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat,
Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Irianto,
Sulistyowati dan kawan-kawan.2005. Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan
Pengedaran Narkotika; kata pengantar: Prof. Saparinah Sadli-edisi I.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia .
J.Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana.
Pusat Kajian
Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. 2007. Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Sunarto. 2009. Televisi,
Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Suyanto,
Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[2]
Wieringa,
Saskia Eleonora, 1990, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Garba Budaya dan kalyanamitra.
1 komentar:
rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com
Posting Komentar