Raden Mas Maryanto
1112011238
KELEMBAGAAN DESA
1.
Pemahaman
Atas Hakekat Desa
Desa,
sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai “bagian
terkecil dari wilayah negara”.[1]
Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam
hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara
yanpa memiliki bagian-bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia biasa
disebut dengan desa. Aristoteles [2]
mengatakan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Dengan logika bahwa negara itu diawali
dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga
itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata negara (polis dalam bahasa Yunani), dengan tujuan
untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dalam tafsir yang
sama istilah “republik” dan istilah “desa” dapat diletakkan pada istilah
“negara”, atau dengan kata lain dapat pula diartikan bahwa adalah cikal bakal
atau asal mula negara.[3]
Konsep
desa sebagai entitas sosial sangatlah beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan
sudut pandang yang hendak diguanakan dalam melihat desa. Sebutan desa dapat
berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi
politik sekaligus kualitas posisi dihadapkan pihak atau kekuatan lain. Secara
etimologis istilah desa[4]
berasal dari kata “swadesi” bahasa
Sansekerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom.
Istilah tersebut diintrodusir kembali oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo bahwa
perkataan “desa”, “dusun”, “desi” (kata
swadesi sama halnya dengan perkataan “negara”, “negeri”, “nagary”, “negory”
yang berasal dari perkataan “negarom”)
kata tersebut berasal dari perkataan Sanskrit
(Sansekerta) yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran.[5]
Namun sedikit berbeda halnya dengan Ateng
Syafrudin yang juga memberikan tafsir informasi tentang istilah yang
digunakan sebagai kesamaan istilah “desa”, yakni “swargama (gramani), dhisa, marga, nagari, mukim, kuria, tumenggungan,
negorey, wanua, atau negory, manoa,
banjar, dan penanian.[6]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang
dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.[7]
Secara sosiologis, definisi desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat
atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang
saling mengenal. Corak kehidupan yang relatif homogen serta banyak bergantung
pada alam, mempunyai sifat sederhana dengan ikatan sosial dan adat istiadat
yang kuat.[8]
Perspektif antropologis melihat desa sebagai suatu kumpulan manusia atau
komuniti dengan alatar suatu lingkungan atau geografis tertentu yang memiliki
corak kebiasaan, adat istiadat dan budaya dalam kehidupannya, adanya upaya
eksistensi hidup dan nilai estetika yang dimiliki mendorong adanya perbedaan
karakter dan corak budaya yang dimiliki antara satu desa dengan desa lainnya.[9]
Secara
historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan
pemerintahan di Indonesia, jauh sebelum negara bangsa modern ini terbentuk,
entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah
menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Perspektif
ekonomi memotret desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki modal produksi
yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power). Sedangkan perspektif yuridis-politis bahwa desa
seringkali dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai identitas, entitas yang berbeda-beda
dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI.
Dengan kata lain, desa tidak saja dapat
didefinisikan sebagai kesatuan hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan
berwenang dalam mengatur, mengurus segala kebutuhan, kepentingan masyarakat
setempat yang diakui serta dihormati keberadaannya dalam sistem pemerintahan
NKRI, akan tetapi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum memberikan pemahaman
yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas administratif (administrative entity) , akan tetapi
juga sebagai entitas hukum (legal entity),
yang secara tidak langsung harus dihargai, diistimewakan dan dilindungi dalam
sistem pemerintahan di Indonesia.
Visi reformasi Desa adalah menuju Desa yang mandiri,
demokratis dan sejahtera. Karena berbasis visi itu, maka Desa tidak bisa
dipahami hanya sebagai wilayah administratif atau tempat kediaman penduduk
semata, melainkan sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Paralel dengan visi tersebut, sebaiknya Desa ditransformasikan menjadi sebuah
entitas yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara
ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Otonomi Desa mengandung tiga makna:
a)
Hak Desa untuk
mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya ekonomi-politik;
b)
Kewenangan untuk
mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan
kepentingan masyarakat setempat;
c)
Tanggungjawab Desa
untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Desa melalui pelayanan publik.
Dengan
demikian Desa mempunyai hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah,
sekaligus mempunyai tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya
berjalan, Desa membutuhkan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang
tanggungjawab mengurus masyarakat.
2.
Azas dan Perspektif Pengaturan Desa
Ketika
berbicara tentang otonomi daerah dan Desa, maka kita langsung melihat
desentralisasi sebagai azas utama. Azas untuk menopang otonomi daerah tentu
sudah final, yakni menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan (delegasi). Azas desentralisasi terutama diberikan kepada
kabupaten/kota mengingat daerah ini menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas
dekosentrasi terutama diberikan kepada provinsi mengingat gubernur adalah wakil
pemerintah pusat yang berada di daerah. Azas tugas pembantuan (delegasi)
diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan
bahkan kepada Desa. Tetapi perspektif dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan
sempurna untuk menempatkan posisi dan peran Desa, karena Desa mempunyai otonomi
asli dengan basis hak-hak bawaan (asal-usul).
Karena itu diusulkan kembali dua azas utama
yang digunakan untuk mendasari otonomi pemerintahan Desa. Pertama,
rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-usul Desa. Pasal 18 UUD 1945,
misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni mengakui keberadaan
daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
beragam nama dan susunan aslinya. UU No. 32/2004 juga memberi pengakuan
terhadap kewenangan/hak asal-usul Desa, meski jabarannya tidak terlalu jelas.
UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mengakui dan bahkan memulihkan
posisi mukim yang semula hanya menjadi lembaga adat menjadi unit pemerintahan
yang berada di tengah-tengah kecamatan dan Desa (gampong).
Kedua, azas subsidiaritas, yakni lokalisasi kewenangan di aras
Desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat
setempat. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal diputuskan
secara lokal dengan kewenangan Desa, dan masalah-masalah lokal juga
diselesaikan secara lokal. Subsidiaritas mengandung spirit
menghargai, mempercayai dan menantang Desa untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas itu inisiatif lokal
Desa akan sulit tumbuh, dan Desa kian menjadi beban berat bagi pemerintah.
Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman panjang dalam
praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat atau
penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di
tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ke tingkat mukim.
Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di
Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika
tidak selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan
terakhir berada di level kasasi Mahkamah Agung.
Berdasarkan pemahaman
pada gambaran umum di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak
harus dapat menjawab pertanyaan mengapa paradigma yang menjadi dasar pengaturan
mengenai Desa yaitu memberikan dasar menuju kemandirian, artinya
memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur
dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (dalam Suhartono,
2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama,
paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma
yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga,
paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil.
Berdasarkan paradigma
yang pertama, yaitu melihat permasalahan Desa berdasarkan pada masalah rakyat
itu sendiri, maka dalam Undang-Undang Desa yang ditekankan adalah bagaimana
menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat Perdesaan adalah pelaku utama pembangunan
di Desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing,
mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif. Berdasarkan paradigma di
atas, maka peran desa di dalam
masyarakat harus ditingkatkan dalam:
1)
Mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa
serta perubahan status Desa menjadi kelurahan;
2) Penyelenggaraan pemerintahan Desa
3) Mengidentifikasi dan melaksanakan kewenangan Desa;
4) Pembuatan Peraturan Desa
5) Perencanaan Pembangunan Desa
6) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa
7) Kerjasama Desa
8) Meningkatkan peran Lembaga Kemasyarakatan
9) Melestarikan Lembaga Adat
Berdasarkan ketentuan di atas, maka sebenarnya peran
masyarakat akan ditingkatkan dalam segenap aspek yang berkembang di Desa,
seperti penyelenggaraan pemerintahan Desa, demokrasi Desa, ekonomi dan
pembangunan Desa, kerjasama antar Desa dan hubungan Desa dengan supra Desa.
Dari paradigma kedua, yang melihat kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat, permasalahan Desa ini akan
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam:
a. penyelenggaraan
pemerintahan Desa
b. pengembangan ekonomi
pedesaan
c. pengembangan demokrasi
lokal
d. pengembangan kerjasama
Desa
Selanjutnya dari
paradigma ketiga, yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil, maka
Desa ini:
a.
memungkinkan Desa menerima atau menolak penyerahan urusan
pemerintahan di atasnya
b.
menegaskan akan arti pentingnya hak asal-usul, adat
istiadat Desa dan sosial budaya masyarakat Desa
c.
menegaskan akan arti pentingnya Kepala Desa dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ekonomi Desa,
mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa dan sebagainya. [10]
3. Ketentuan Umum
1.
Pemerintah
Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Pemerintah
daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
3.
Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4.
Kecamatan
adalah wilayah pembangunan dan pelayanan publik yang dipimpin camat sebagai
perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.
5.
Desa
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri beserta kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.
Otonomi asli adalah hak dan wewenang Desa mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul yang diakui dan dihormati oleh
negara.
7.
Rekognisi
adalah pengakuan negara terhadap hak asal-usul Desa.
8.
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9.
Subsidiaritas
adalah penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan secara lokal di tingkat
Desa berkenaan dengan kepentingan masyarakat setempat.
10.
Pemerintahan
Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan
kepentingan masyarakat setempat
11.
Pemerintah
Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
12.
Badan
Permusyaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat
BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
13.
Lembaga
Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk
oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah Desa
dalam memberdayakan masyarakat.
14.
Alokasi
Dana Desa adalah dana yang dialokasikan
oleh Pemerintah untuk Desa sebagai salah satu komponen dana perimbangan yang
diterimakan oleh pemerintah daerah, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
15.
Perencanaan
Desa adalah perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka tahunan yang
disusun sendiri oleh Desa (self planning)
secara partisipatif dan ditetapkan bersama oleh Kepala Desa dan BPD dengan
Peraturan Desa.
16.
Keuangan
Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
Desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
17.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APBDes adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan Desa yang direncanakan secara partisipatif,
dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan BPD, yang ditetapkan
dengan Peraturan Desa.
18.
Peraturan
Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh BPD bersama Kepala
Desa.
19.
Pembinaan adalah pemberian pedoman, standar
pelaksanaan, perencanaan, penelitian, pengembangan, bimbingan, pendidikan dan
pelatihan, konsultasi, supervisi, monitoring, pengawasan umum dan evaluasi
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan Desa.
[1] Moh. Fadli, Jazim Hamidi,
Mustafa Lutfi. 2011. Pembentukan
Peraturan Desa Partisipatif. Malang
: UB Press. Hlm 2.
[2] Aristoteles dalam Sri Soemantri Martoseewignjo. Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung,
1976. Hlm 3.
[3] Dr. Didik Sukriono, Pembaharuan
Hukum Pemerintah Desa. 2010. Malang : Setara Press.
[4] P. J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus
Jawa Kuno Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Hlm 212.
[5] Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa,
Balai Pustaka, Cet. V, Jakarta, 1984. Hlm 1.
[6] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik
Desa, Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, PT
Alumni, Bandung, 2010. Hlm 2-3.
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan
Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cet. VII, Jakarta , 1995. Hlm. 226.
[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, Edisi 12, Rajawali Press, Jakarta, 1990, sebagaimana yang
dikutip oleh I gede Agus Wibawa, Pengaruh
Status Kelurahan Menjadi Desa Dalam Persektif Pemerintahan Daerah (Studi Kasus
Perubahan Status Pemerintahan), Disertasi tidak diterbitkan, Program
Pascasarjana FIA Universitas Brawijaya, 2011. Hlm. 9-11.
[9] Ibid.
1 komentar:
rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com
Posting Komentar