BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Buruh
merupakan Salah satu elemen terpenting dalam pembangunan suatu bangsa khususnya
bangsa Indonesia yang sudah 68 thun memerdekakan diri, namun saat ini belum
meneguk kesempurnaan perlindungan hokum khususnya kaum buruh.perekonomian yang
semakin hari semakin bertambah dan berkembang namun belum mampu untuk mencukupi
kebutuhan masyarakat, kemudian timbuah suatu masalah terkait perlindungan
terhadap kaum buruh yang mana banyak permasalahan yang belum mampu terselesaikan,
perdagangan buruh ,outsourching, minimnya pendapatan masayaraakat, serta
banyakanya perdagangan iegal buruh ke Negara asing.
Dalam
hal inin pemerintah turut andil dlam perindungn buruh yang saat ini mengalami
banyak permasalahan baik dari segi ekonomi, budaya, maupun pendidikan yang
sejatinya akan menghambat perkembangan Indonesia di bidang perekonomian,
lahirnya undang-undang no 13 tahun 2003 tidak serta merta penjaminan terhadap
kaum buruh dapat terlakasanan dengan sesuai harapan.
Indonesia
di tahun 2015 akan berpartisiapasi dalam Komunitas Asean yang mana pasar bebas
akan di gelar di Negara-negara asia tenggara yang mana Indonesia menjadi salah
satu kandidat terlaksananya program tersebut.
Menyikapi
hal ini Indonesia perlu memperbaiki system perlindungan Ketenagakerjaan untuk
mememnuhi pasok tenaga kerja di dalam negeri maupun diluar negeri setelah
Komunitas asean terlaksana di tahun 2015.
perlunya
perlindungan dan jaminan huku terhadap tenaga kerja memberikan kesadaran
pemerintah akan pentingnya membuat suatu regulasi pro dengan para pekerja.
Dalam hal ini ada beberapa undang-undang yang perlu di kaji untuk mengeahui
seberapa jauh tindakan pemerintah dalam melindungi kaum pekerja atau buruh.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah analisa yuridis terhadap perlindungan hokum menurut
Undang-Undang ketenagakerjaan di Indonesia.
2. Bagaimanakah peran Undang-undang
ketenagakerjaan dalam melindungi serta penjaminan perindungan buruh sesuai
dengan undang-undang Ketenaga kerjaan.
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui peran Undang-undang
dalam hal perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
2. Mengetahui analisa yuridis dalam
kaitanya Undang-undang ketenagakerjaan dengan perlindungan terhadap tenaga
kerja di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Umum Perjanjian di Indonesia.
Pada
umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu perjanjian yang mendahului
hubungan hukum tersebut. Secara umum suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain dan dimana kedua orang itu saling
berjanji untuk melakukan suatu hal[1]
Dengan adanya pengertian tentang perjanjian tersebut, bisa disimpulkan bahwa
kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang.
Dalam
hal perjanjian, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat terhadap bentuk
dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”,
yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh
membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan
ketertiban
umum[2]
Asas
kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1, Pasal 1337 KUH Perdata.
Dalam
suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:[3]
a. Ada
pihak-pihak
b. Ada
persetujuan antara para pihak
c. Ada
tujuan yang akan dicapai
d. Ada
prestasi yang harus dilaksanakan
e. Ada
bentuk tertentu
f. Ada
syarat-syarat tertentu
Suatu
perjanjian dikatakan sah apabila suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat
tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya
perjanjian akan menjadi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena
itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (legally
concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa
“untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Maksudnya
adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
harusalah bersepakat dan setuju atas hal-hal yang diperjanjikan dengan tanpa
ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Maksudnya
adalah yang dapat membuat suatu perjanjian adalah mereka yang bisa
dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu orang dan badan hukum.
Jika yang membuat perjanjian adalah badan hukum, maka badan hukum tersebut
harus memenuhi syarat-syarat badan hukum, antara lain:
a. ada
harta kekayaan yang terpisah;
b. mempunyai
tujuan tertentu;
c. mempunyai
kepentingan sendiri;
d. ada
organisasi.
Dengan
terpenuhinya keempat syarat tersebut, maka badan hukum tersebut bisa disebut
sebagai subyek hukum dan bisa melakukan hubungan hokum yang antara lain sebagai
salah satu pihak dalam suatu perjanjian. Jika yang membuat perjanjian adalah
orang, maka orang yang dianggap sebagai subyek hukum adalah orang yang tidak
termasuk dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu
a. Orang
yang belum dewasa;
b. mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. orang
perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua
orang
kepada kepada siapa undang-undang telah melarang membuat suatu
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun bagi seorang perempuan,
B. Perjanjian Kerja
Dalam
mengadakan suatu perjanjian, para pihak tidak selalu mempunyai kedudukan yang
sama dari pihak lainnya. Kita dapat melihat hal ini pada perjanjian kerja yang
terdapat unsur wewenang perintah didalamnya. Sebagai salah satu sumber hukum
perburuhan, dengan adanya unsure wewenang perintah dalam perjanjian kerja
berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang tidak sama yaitu yang
memerintah dan yang diperintah. Kedudukan yang tidak sama disebut pula hubungan
diperatas (dienstverhoeding).[4]
Berkaitan
dengan hal tersebut, negara harus melindungi siapa saja yang lemah agar dapat
tercapai suatu keseimbangan yang mendekatkan warga negaranya dengan tujuan
Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dikarenakan dalam mengadakan
perjanjian khususnya perjanjian kerja ada perbedaan perbedaan tertentu seperti
kondisi, kedudukan, dan berbagai hal seperti di bidang sosial, ekonomi, dan
pendidikan antara mereka yang membuat perjanjian kerja, maka diperlukan
intervensi dari pihak ketiga yaitu peran Negara guna memberikan perlindungan
bagi pihak yang lemah, terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.
Beberapa
peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini,
termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada
posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan
sistem hubungan industrial yang
menonjolkan
perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang. Sehingga pada
tahun 2003, lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
selain untuk mencabut ketentuanketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan
dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat
mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era
reformasi tahun 1998 termasuk pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi
tenaga kerja dalam hubungan kerja.[5]
Hubungan kerja
adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya
perjanjian kerja.[6]
majikan
dengan buruhnya. Hubungan ini terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara
buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan
membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam
melakukan pekerjaan ini berada di bawah pimpinan pihak majikan.[7]
Pengertian
perjanjian kerja dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Bila
melihat
pengertian tersebut, tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau
tertulis serta jangka waktunya tidak ditentukan.
Namun
hal ini diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja
dibuat secara tertulis atau lisan.37 Dalam Pasal 51 ayat (2)-nya menyebutkan
perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku. Secara normative
bentuk
tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.[8]
Selain
itu, dalam Pasal 54 juga menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis sekurang kurangnya memuat:
a. nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan
atau jenis pekerjaan;
d. tempat
pekerjaan;
e. besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f. syarat
syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
a. pekerja/buruh;
g. mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja.
Pada
ayat (2)-nya, disebutkan bahwa perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Artinya isi dari perjanjian kerja tersebut baik secara kualitas maupun
kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama di sebuah perusahaan khususnya mengenai besarnya upah dan cara
pembayarannya, serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha, dan pekerja/buruh. Pada ayat (3)-nya juga diatur mengenai perjanjian
kerja yang harus dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), masing masing untuk
pekerja/buruh dan pengusaha dan mempunyai kekuatan hukum yang sama pula. Bila
melihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (2), perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang undangan
yang berlaku, dan salah satu contohnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu.
Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja harus disepakati jangka waktunya
sehingga terlihat apakah perjanjian kerja tersebut berlaku untuk jangka waktu
tertentu atau bukan karena terdapat perbedaan dalam pengaturannya termasuk
jenis pekerjaannya.
C.
Perlindungan Tenaga Kerja
Perlindungan
Tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam hukum ketenagakerjaan. Beberapa
pasal dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan di
antaranya mengatur hal itu.
1. salah
satu tujuan pembangunan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja
dalam mewujudkan kesejahteraan ( pasal 4 huruf c).
2. setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan (pasal 5)
3. Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusah (pasal 6)
4. Setiap
tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat , minat dan kemampuanya melalui pelatihan
kerja (pasal 11)
5. Setiap
pekerjaa atau buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya (pasal 12 ayat 3)
6. Setiap
tenaga kerja memiliki hak dan kesempatan
kerja yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh
penghasiolan yang layak di dalam atau di luar negeri (pasal 31).
7. Setiap
pekerja buruh, berhak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral
dan kesusilaan dan perilaku yang sesuai dengan harkat dan martabat serta
nilai-nilai agama (pasal 86 ayat 1).
8. Setiap
pekerja atau buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 88
ayat 1)
9. Setiap
pekerja atau buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan social
tenaga kerja.( pasal 99 ayat 1)
10. Setiap
pekerja atau buruh berhak untuk membentuk dan menjadikan pekerja/buruh (pasal
104 ayat 1).[9]
B.
Jenis Perlindungan Kerja
Secara
teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu sebagai berikut :[10]
a.
Perlindungan
sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan,
yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan
kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota
masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan
kesehatan kerja.
b.
Perlindungan
teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan
oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering
disebut sebagai keselamatan kerja.
c.
Perlindungan
ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi
keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh
tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini
biasanya disebut dengan jaminan sosial.
Ketiga
jenis perlindungan di atas akan di uraikan sebagai berikut :
1.
Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Kesehatan
kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan sosial
karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan
pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan
pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan
tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak
asasi.
Karena
sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan
sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat
”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan
perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang
perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial
ini merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini
disebabkan beberapa alasan berikut : [11]
- Aturan-aturan
yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang
saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
- Pekerja/buruhIndonesia
umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi
hak-haknya sendiri.
Jadi,
jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari
kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya
dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu
hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan
hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial
sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
2. Perlindungan Teknis Atau Keselamatan
Kerja
Keselamatan
kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan
terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda
dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan
pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan
kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
- Bagi
pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat
memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir
sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
- Bagi
pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan
dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha
harus memberikan jaminan sosial.
- Bagi
pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan
keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk
mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi
perusahaan baik kualitas maupun kuantitas[12]
Dasar
pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1 Tahun
1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan
undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda
masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan.
Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut : [13]
- Veiligheidsreglement,
S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S. 1931
No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan
Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang
keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat bekerja.
- Stoom
Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
- Loodwit
Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian
timah putih kering.
3.
Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial
Penyelenggara
program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara
untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan
kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara
berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded
social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih
terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Jaminan
sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.[14]
Dari
pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan
kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan kesehatan
yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.
Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang
– Undang Nomor. 3 Tahun 1992 adalah: [15]
Merupakan
hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada
hakikatnya program jaminan soisal tenaga kerja dimaksud untuk memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian
yang hilang.
Disamping
itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain
: Indonesia,[16]
- Memberikan perlindungan dasar
untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta
keluarganya.
- Merupakan penghargaan kepada
tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus
meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko
– resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
Dalam
hal perlindungan pemerintah belu bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat
mengingat semakin berkenbangnya system perburuhan di Indonesia, mengakibatkan
kendala tersendiri serta menyulitkan pemerintah daam mengatasi permasalahan
yang ada.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa
perlindungan terhadap tenaga kerja di antaranya adalah :
a.
Perlindungan
sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan,
yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan
kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota
masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan
kesehatan kerja.
b.
Perlindungan
teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan
oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering
disebut sebagai keselamatan kerja.
c.
Perlindungan
ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi
keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh
tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini
biasanya disebut dengan jaminan sosial.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum perlindungan terhadap tenaga
kerja adalah meliputi jaminan ekonomi, jaminan social, jaminan kesehatan, dan
lain-lain, yang dalam hal ini adalah kewajuban pemerintah dalam penjaminan
hak-hak dan perlindungan tennaga kerja, sesuai undang-undaang nomor 13 tahum
2003.
DAFTAR PUSTAKA
Soebekti,
1994, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung
Zaeni Asyhadie, 2007 Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja),
Jakarta,
Raja
Grafindo Persada,
Lalu Husni, 2003, Pengantar hukum
ketenaga kerjaan indonesia, Jakarta : PR Raja Grafindo Persada,
Imam
Soepomo, 2001 Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, (edisi revisi)
Jakarta: Djambatan, 2001.
Djumadi,
1999, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo PersadA.
Abdul
Kadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.
Undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
[1] Soebekti, Aneka Perjanjian,
(Alumni Bandung:1994), hal. 1
Hal.
10
[3] Abdul Kadir Muhamad, Hukum
Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982) , hal.78.
Bandung:1999, hal. 9
[5] Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
Penjelasan Umum.
[6] Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
(Edisi Revisi). (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), Hal. 53
[7] Imam Soepomo, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan
Kerja, (edisi revisi) (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.1.
[8] Indonesia, 2003, Op. Cit, Penjelasan Pasal 51
ayat (1): Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam
dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan.
[9]
Undang-undang nomor 13 tahun 2003
[10] Zaeni
Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum
Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2007, hal 78
[11] Ibid,
hal 80
[12]. Ibid, hal 84
[13] Ibid,
hal 84
[15] :
Lalu Husni, Pengantar hukum ketenaga kerjaan indonesia, ( Jakarta : PR
Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal 122
[16] Undang-undang
jaminan soail tenaga kerja, 3 Tahun 1992.
0 komentar:
Posting Komentar