Selasa, 24 Juni 2014

HUMAN TRAFICKING DI KALANGAN WANITA DAN ANAK-ANAK

A. HUMAN TRAFICKING DI KALANGAN WANITA DAN ANAK-ANAK
B. Latar Belakang

perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak berapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Berdasarkan laporan Departemen Luar Negeri AS 12 Juni 2001 mengenai Trafficking in Persons, bersama dengan 22 negara lainnya, Indonesia dipandang sebagai sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun mancanegara (Kompas, 27 September 2001). Ketua Komnas Perlindungan Anak mengatakan bahwa Indonesia di tahun 2012 sendiri tentang kasus perdagangan anak meningkat tajam hingga 71% dari tahun sebelumnya.
Di Indonesia, kasus perdagangan anak yang sangat menonjol biasanya terjadi di daerah perbatasan dengan negara tetangga, seperti Riau, Medan, dan Kalimantan Barat, yang secara geografis dekat dengan Singapura dan Malaysia. Selain itu, kasus perdagangan anak juga banyak dijumpai di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Semarang dan Bandung. Menurut ACILS dan JARAK, khusus untuk Provinsi Jawa Timur daerah yang rawan dan potensial terjadinya women and child trafficking adalah Banyuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Pendek kata, sepanjang di sebuah wilayah terjadi proses marginalisasi dan dapat dijangkau mata rantai sindikat mafia perdagangan anak, dan sebaliknya di wilayah yang lain berkembang sektor pariwisata yang bercampur dengan kompleks lokalisasi, maka sepanjang itu pula korban baru praktis perdangangan anak akan terus bermunculan.
PBB mengkategorisasikannya sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu penanganan khusus. Oleh karena itu, pada tahun 1994, ketua Komisi HAM menunjuk Mrs. Radhika Coomaraswamy sebagai Special Rapporteur on Violence against Women dan ditugaskan untuk mengumpulkan data dan masukan apa penyebab dan konsekuensi perdagangan manusia.
Isu perdagangan perempuan di Indonesia mengemukakan dalam kongres ke-2 Persatuan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII) di Surabaya tahun 1930. Penelitian Wieringa[1][2]menunjukan bahwa dalam kongres ini perdagangan perempuan menjadi topik utama.
Perdagangan perempuan semakin menjadi-jadi pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu, pengerahan perempuan dilakukan penjajah Jepang dengan alasan perang dan kemakmuran Asia Timur Raya. Hartono dan Juliantoro[3].menemukan berbagai cara rekrutmen dalam perdagangan perempuan ini. Pertama, melalui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang, dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan masal, seperti pembantu rumah tangga, pemain sandiwara, atau pelayan di restoran. Kedua, melalui jalur resmi aparat pemerintahan. Pada Konferensi Perempuan Sedunia ke-3 tahun 1985, Forward Looking Strategies membatasi diri pada ‘perdagangan perempuan untuk tujuan prostitusi dan prostitusi paksa’ sebagai sebuah bentuk perbudakan.
Padahal di Indonesia sendiri ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. UU No.23 Th 2002 tersebut secara tegas mengatur tentang perdagangan anak. UU No.23 Th 2002 tersebut secara tegas mengatur tentang perdagangan anak. Perdagangan anak terjadi ketika anak dipandang sebuah obyek yang dapat di perjual belikan layaknya sebuah barang untuk tujuan tertentu yang biasanya merupakan sebuah eksploitasi. Hak-hak yang dimiliki seorang anak sudah tidak di pedulikan lagi keberadaannya.





C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu
1. Penjelasan teoritis perilaku menyimpang yang berspektif sosiologi dalam trafficking in persons.
2. Pengertian trafficking in persons?
3. Siapa saja yang terlibat dalam proses tindak kasus trafficking in persons.
4. Modus apa saja dalam trafficking in persons.
5. Contoh kasus trafficking in persons.
6. Analisa masalah dalam trafficking in persons.
7. Sebab terjadi banyak korban trafficking.
8. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak.

D. PEMBAHASAN

a. Penjelasan Teori Sosiologis dalam Trafficking
Dalam perspektif sosiologi perilaku menyimpang Perdagangan dan Penculikan Anak karena terdapat penyimpangan perilaku yang sering disebut adalah hasil dari proses belajar. Salah seorang ahli teori belajar yang banyak dikutip tulisannya adalah Edwin H. Sutherland (dalam Atmasasmita, 1992:13). Ia menanamkan teorinya dengan Asosiasi Diferensial. Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau di antara teman-teman sebaya yang menyimpang.
Meskipun teori Sutherlland ini secara spesifik digunakan untuk menganalisis kejahatan dan perilaku menyimpang yang mengarah pada tindak kejahatan, tetapi teori ini bisa digunakan juga untuk menganalisis bentuk-bentuk lain perilaku menyimpang, seperti pelacuran, kecanduan obat-obatan, alkoholisme, perilaku homoseksual dan khususnya perdagangan dan penculikan anak. Motif seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak. Apabila seseorang bernggapan seperti itu karena tidak ada sanksi atau hukuman yang tegas, atau orang lain membiarkan suatu tindakan yang dapat dikategorikan menyimpang, maka mudahlah orang berpeilaku menyimpang.

b. Pengertian Trafficking (Perdagangan) Anak dan Perempuan
Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan mendapatkan uang. Banyak anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker(orang yang memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Child and Women Traffiking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, member atau menerima pembayaran untuk memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Bentuk dari eksploitasi tersebut adalah eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. Dampak negatif dari kekerasan yang dialami menimbulkan bekas seperti fisik, psikologi, seksual, financial, spiritual, dan fungsionalnya terganggu.
Perdagangan orang (trafficking in persons) merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.


c. Pelaku dan Motif
Pola-pola perdagangannya diawali dengan tahap manipulatif. Calon korban tidak diberi opsi tentang apa pekerjaan, dan risikonya. Biasanya mereka dibawa ke luar kota dan dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Adakalanya oleh calo, korban dan keluarganya sudah dimintai uang atau diberi status berutang. Pada saat bersamaan, juga terjadi pemalsuan Kartu Tanda Penduduk agar korban dianggap cukup umur.
Dalam tahap ini ada juga anak-anak yang memang sengaja dijual oleh orangtua, atau paling tidak orangtuanya mendapat sejumlah uang sebagai pengganti izin bagi kepergian anaknya. Konsep budaya Fillial Piety, yaitu kewajiban anak untuk berbakti kepada orangtua, menjadi factor pendorong keluarnya seorang anak dari tempat tinggalnya. Pada tahap kedua, korban dibawa dan dipaksa tinggal di tempat penampungan yang sangat tidak layak. Kartu identitas dan semua uangya diambil sehingga korban terpaksa tinggal dan tidak bisa melarikan diri. Kemudian, korban “dipindah tangankan”dari satu calo ke calo yang lain, dengan diikuti sejumlah transaksi pembayaran. Tahap berikutnya, korban diberi pekerjaan sebagai buruh kasar, pekerja seks komersial untuk bisnis hiburan dan termasuk untuk kepentingan militer, dilibatkan dalam penyelundupan obat terlarang (narkotika), dijadikan pengemis, dilibatkan dalam penjualan bayi dan sebaginya. Pada tahap ini mereka sering mengalami kekerasan, dianiaya atau diperkosa.

d.  Modus
Selama ini, modus yang dikembangkan pelaku atau sindikat yang memperjual-belikan anak perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial relatif bermacam-macam. Sebagian mungkin dengan bujuk rayu dan penipuan, tetapi tak jarang pula terjadi dengan cara kekerasan atau paksaan.
Seorang anak perempuan yang tampak kebingungan di tempat-tempat keramaian, seperti terminal, jalan raya, atau stasiun KA, niscaya mereka adalah calon korban yang potensial kasus child trafficking. Di samping mengandalkan bujuk-rayu dan janji-janji yang melambung, tak jarang para anggota sindikat perdagangan anak perempuan mencari korban baru dengan memaksa, mengancam korban, dan bahkan jika perlu memerkosanya lebih dulu sebelum menyerahkan kepada germo yang menampungnya kemudian. Korban biasanya tidak bias berbuat banyak atas nestapa yang mereka alami, sebab selain takut intimidasi, mereka biasanya juga terputus saluran komunikasi dengan dunia luar.
Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yang kehilangan keluarganya akibat kerusuhan, pengungsi anak, dan anak-anak korban child abuse dalam keluarga mereka semua umumnya potensi menjadi korban penipuan dan diperdagangkan untuk berbagai keperluan, terutama untuk kepentingan bisnis prostitusi.
Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.

E. Beberapa Contoh Kasus dari Traffiking:
1. Di Maluku Utara misalnya, anak-anak yatim yang menjadi korban kerusuhan, dangan kedok akan disekolahkan ke pondok pesantren, ternyata setiba di tempat tujuan justru di jual dan di perkerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Bagi keluarga yang menginginkan anak-anak itu, mereka harus menebus 175 ribu dengan alasan sebagai pengganti biaya perjalanan dari Pulau ke Ternate.
2. Komnas Perlindungan Anak juga mensinyalir, sebagian anak-anak pengungsi dari Atambua ternyata diperdagangkan untuk diperkerjakan menjadi PSK (pekerja seks komersail). Sementara itu, di Sulawesi Tengah, seorang ibu dilaporkan tega menjual anak kandungnya yang masih berusia 7 bulan seharga 500 ribu hanya karena alasan ekonomi dan keinginan untuk membeli tape recorder.
3. Di Surabaya, pertengahan bulan November 2000 lalu juga diberitakan kasus eksploitasi dan perdagangan seksual beberapa remaja putri oleh pasangannya sendiri, entah karena alasan untuk hidup ataukah karena mereka terjerat pada pengaruh narkoba yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ceritanya, entah karena terlena oleh bujuk rayu atau karena ketergantungan dan paksaan, beberapa anak-anak perempuan terpaksa pasrah ketika diminta pasangannya untuk menjajakan diri. Mereka baru berontak dan melaporkan kejadian itu kepada polisi ketika tindakan pasangannya sudah dianggap melampaui batas.
4. Di Surabaya, misalnya Juli 2002 lalu dilaporkan di media masa bagaimana aparat kepolisian berhasil mengungkap praktik perdagangan anak perempuan yang dipaksa bekerja di sektor prostitusi. Menurut pengakuan salah satu pelaku, paling tidak sudah ada lima anak perempuan di bawah 18 tahun yang diperdaya dan kemudian dijual ke germo di kompleks lokalisasi di Surabaya. Harga persatu korban rata-rata 1 juta rupiah. Modus yang dikembangkan pelaku adalah mereka mencoba mendekati korban, mencarinya, kemudian setelah berhasil diperdaya dan korban tertipu menyerahkan keperawanannya, baru kemudian korban dijual ke germo yang sudah menjadi langganan mereka.
5. Ciawi, Setelah lebih dari sebulan tak pulanh kerumah, akhirnya Putri Rusdianti (20) warga RT 04/06, Kampung Ranji, Desa Telukpinang akhirnya dilaporkan pihak keluarga ke Mapolsek Ciawi, kemarin. Ibu korban, Yanti (40) mengatakan, anaknya meninggalkan rumah sejak Minggu (4/11). Saat itu, Putri berpamitan bersama temannya Novia (19) untuk menghadiri pesta ulang tahun di kawasan Tajur, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor.Namun, hingga malam hari Putri tak pulang.“ Sejak malam itu, saya langsung mencari dan bertanya kepada teman-temannya, tapi mereka tak tahu,” ungkapnya.Penasaran, Yanti kemudian mendatangi rumah Novi namun tak membuahkan hasil. “ Katanya, anak saya sudah pulang,” ujarnya saat di Mapolsek Ciawi.Yanti menambahkan, anaknya memiliki ciri tinggi sekitar 160 cm, rambut hitam lurus panjang dan tahi lalat kecil di bagian bibir sebelah kiri.

F. Analisis Masalah

Daftar kasus perdagangan anak dan perempuan yang terjadi di tanah air selama ini sudah tentu masih bisa terus diperpanjang. Tetapi, terlepas dari soal jumlah dan berapa angka kejadian yang pasti, sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kasus perdagangan anak dan perempuan sungguh harus dikutuk dan dicegah perkembangannya karena implikasinya sangat merugikan korban. Berbeda dengan kasus kriminal biasa di mana korban barangkali hanya menderita kerugian harta benda atau lika fisik di tubuh. Dalam kasus ini, korban dalam banyak hal harus mengalami penderitaan ganda yang bertubi-tubi. Mereka bukan saja harus kehilangan kebebasan, dieksploitasi dalam jam kerja yang panjang, tercabut dari akar budaya, dan habitat asalnya, atau terpaksa terpisah dari keluarga, dan teman. Lebih dari itu, anak dan perempuan yang menjadi korban sering kali juga harus menerima stigma sosial yang merugikan: dicap sebagai wanita tuna susila, anak haram, anak pungut atau bahkan menjadi budak terselubung.

g. Mengapa bisa terjadi banyak korban Trafficking?

Mengapa hal ini bisa terjadi dan banyak memakan korban gadis – gadis remaja kita ? ada beberapa faktor utama yang harus dicermati, antara lain : Para BMI tidak mempunyai akses langsung terhadap PT atau Lembaga yang membutuhkan tenaganya, sehingga banyak calon BMI sangat mudah terkena tindak penipuan yang dilakukan oleh para Calo maupun PT penyalur tenaga kerja bahkan Calon BMI tidak tahu tentang pekerjaanya dan gaji yang sebenar – benarnya. Dan ini lebih diperparah lagi manakala Pihak PT, merubah identitas atau mengganti identitas calon BMI dengan alasan untuk mempercepat keberangkatan calon korban. Jika para BMI sesampai di negara tujuan , dan merasa dirinya menjadi korban Trafficking, para BMI tidak tahu tempat dan memang tidak ada tempat pengaduan bagi mereka korban Trafficking, seandainya mereka meminta perlindungan ke Kedutaan, atau Konsulat RI yang ada di negara tujuan tersebut, cenderung tidak dilayani dengan baik dengan alasan cukup klasik yaitu tidak adanya tenaga dan anggaran yang kusus tersedia untuk itu , sehingga banyak permasalahan korban trafficking dinegara tujuan tidak terselesaikan dengan tuntas.


h. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak

Di tengah situasi krisis yang tak kunjung usai, harus diakui bukan hal yang mudah untuk mengerem laju pengiriman tenaga kerja ke luar negeri atau ke luar daerah khususnya ke berbagai kota besar dan pusat industri di belahan Nusantara. Namun dengan melihat ekses negatif yang di timbulkan, maka kasus migrasi anak dan tenaga kerja perempuan dengan sukarela atau paksaan yang belakangan ini berkemban di masyarakat sudah sepantasnya jika kemudian dicermati secara lebih mendalam. Lebih dari sekedar memberikan bekal keterampilan dan keahlian berbahasa plus etos kerja keras yang acap kali menjadi isi kurikulum pusat latihan TKW dan TKI yang ada, sebetulnya yang dibutuhkan anak dan perempuan yang hendak mengadu nasibmencari kerja ke luar provinsi atau ke luar negeri adalah perlindungan dan program pemberdayaan soaial yang benar-benar nyata.

Baru pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan Presiden No.36 tahun1990, Pemerintah Indonesia setelah didesak oleh berbagai kelompok aktifis yang concern terhadap perempuan dan anak serta para Akademisi, baru bersedia meratifikasi sebuah Konvensi Hak – hak Anak (KHA) yang diambil langsung dari Human Right ( PBB ). Merujuk KHA yang sudah diratifikasikan dalam tata hukum di Indonesia, maka dalam Propenas tahun 2000 – 2004 , digariskan upaya untuk memenuhi hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi anak yang salah satunya dilaksanakan melalui kesejahteraan dan perlindungan anak.

“UU” No.39 Tahun 1999, Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hokum yang adil serta mendapat kepastian hokum dan perlakuan yang sama di depan hokum”.

Dan juga dalam pasal 63 – 66 tentang Hak– Hak Manusia, secara khusus menyatakan bahwa anak – anak berhak dilindungi dari berbagai sebab, baik exploitasi ekonomi, exploitasi dan penyalah gunaan secara sex, penculikan, perdagangan, obat – obatan dan penggunaan narkoba, dari hukum yang kejam dan tidak manusiawiserta dilindungi selama proses hukum. Dalam Amandemen UUD 1945 mengenai hak anak untuk mendapat perlindungan tercantum dalam pasal 28B (2) , sehingga berdirilah KomNas Perlindungan Anak ditingkat Nasional dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 18 Propinsi. Dengan demikian ada konsekuensi logis terhadap orang tua , bisa terpidanakan dikarenakan kelalaiannya atau kesengajaannya sehingga anak terekploitasi salah satunya untuk ekonomi maupun tindakan seksual atau yang lainnya.

D. KESIMPULAN

Di Indonesia, perdagangan anak dan perempuan yang belakangan ini makin marak, bukan saja terbatas untuk tujuan prostitusi paksaan atau perdagangan seks melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktik seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan.

Modus yang dikembangkan pelaku atau sindikat yang memperjual-belikan anak perempuan untuk kepntingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial relatif bermacam-macam. Sebagian mungkin den gan cara bujuk rayu dan penipuan, tetapi tak jarang pula terjadi dengan cara kekerasan atau paksaan.

Dalam kasus penculikan dan perdagangan anak yang pernah terjadi di tanah air, motif pelaku melakukan penculikan anak relatif beragam. Secara garis besar, biasanya motif yang melatar belakangi sebagai berikut: (1) praktik penculikan anak yang dimanfaatkan sebagai tenaga kerja paksa, baik itu di sektor industri, sebagai TKI, maupun untuk sekedar di jadikan pengemis atau anak jalanan di bawah komando seorang preman yang sangar dan jahat, (2) praktik penculikan anak sebagai bagian dari modus kriminal untuk memperoleh uang besar dalam jangka waktu pendek, (3) kasus penculikan anak dan perdagangan untuk dijadikan korban kekerasan seksual, baik untuk diperkerjakan sebagai PSK maupun untuk kepentingan perbudakan yang dibungkus dengan kedok perkawinan, (4) praktik penculikan anak untuk diperjual-belikan di luar negeri, baik untuk dimanfaatkan organ tubuhnya maupun untuk dijadikan anak adopsi oleh keluarga tertentu yang menginginkan anak angkat.

 DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Irianto, Sulistyowati dan kawan-kawan.2005. Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika; kata pengantar: Prof. Saparinah Sadli-edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia .
J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. 2007. Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.






[2] Wieringa, Saskia Eleonora, 1990, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Garba Budaya dan kalyanamitra.

1 komentar:

rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com

Posting Komentar