Selasa, 24 Juni 2014

KELEMBAGAAN DESA

Raden Mas Maryanto
1112011238
KELEMBAGAAN DESA

1.      Pemahaman Atas Hakekat Desa
Desa, sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai “bagian terkecil dari wilayah negara”.[1] Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara yanpa memiliki bagian-bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia biasa disebut dengan desa. Aristoteles [2] mengatakan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Dengan logika bahwa negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga  kemudian membentuk kata negara (polis dalam bahasa Yunani), dengan tujuan untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dalam tafsir yang sama istilah “republik” dan istilah “desa” dapat diletakkan pada istilah “negara”, atau dengan kata lain dapat pula diartikan bahwa adalah cikal bakal atau asal mula negara.[3]
Konsep desa sebagai entitas sosial sangatlah beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak diguanakan dalam melihat desa. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik sekaligus kualitas posisi dihadapkan pihak atau kekuatan lain. Secara etimologis istilah desa[4] berasal dari kata “swadesi” bahasa Sansekerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Istilah tersebut diintrodusir kembali oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo bahwa perkataan “desa”, “dusun”, “desi” (kata swadesi sama halnya dengan perkataan “negara”, “negeri”, “nagary”, “negory” yang berasal dari perkataan “negarom”) kata tersebut berasal dari perkataan Sanskrit (Sansekerta) yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran.[5] Namun sedikit berbeda halnya dengan Ateng  Syafrudin yang juga memberikan tafsir informasi tentang istilah yang digunakan sebagai kesamaan istilah “desa”, yakni “swargama (gramani), dhisa, marga, nagari, mukim, kuria, tumenggungan, negorey, wanua, atau negory, manoa, banjar, dan penanian.[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.[7] Secara sosiologis, definisi desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling mengenal. Corak kehidupan yang relatif homogen serta banyak bergantung pada alam, mempunyai sifat sederhana dengan ikatan sosial dan adat istiadat yang kuat.[8] Perspektif antropologis melihat desa sebagai suatu kumpulan manusia atau komuniti dengan alatar suatu lingkungan atau geografis tertentu yang memiliki corak kebiasaan, adat istiadat dan budaya dalam kehidupannya, adanya upaya eksistensi hidup dan nilai estetika yang dimiliki mendorong adanya perbedaan karakter dan corak budaya yang dimiliki antara satu desa dengan desa lainnya.[9]
Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, jauh sebelum negara bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Perspektif ekonomi memotret desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki modal produksi yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power). Sedangkan perspektif yuridis-politis bahwa desa seringkali dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai identitas, entitas yang berbeda-beda dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI.

Dengan kata lain, desa tidak saja dapat didefinisikan sebagai kesatuan hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan berwenang dalam mengatur, mengurus segala kebutuhan, kepentingan masyarakat setempat yang diakui serta dihormati keberadaannya dalam sistem pemerintahan NKRI, akan tetapi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum memberikan pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas administratif (administrative entity) , akan tetapi juga sebagai entitas hukum (legal entity), yang secara tidak langsung harus dihargai, diistimewakan dan dilindungi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Visi reformasi Desa adalah menuju Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Karena berbasis visi itu, maka Desa tidak bisa dipahami hanya sebagai wilayah administratif atau tempat kediaman penduduk semata, melainkan sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum. Paralel dengan visi tersebut, sebaiknya Desa ditransformasikan menjadi sebuah entitas yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
            Otonomi Desa mengandung tiga makna:
a)      Hak Desa untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya ekonomi-politik;
b)      Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat;
c)      Tanggungjawab Desa untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Desa melalui pelayanan publik.
Dengan demikian Desa mempunyai hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah, sekaligus mempunyai tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya berjalan, Desa membutuhkan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang tanggungjawab mengurus masyarakat.

2.      Azas dan Perspektif Pengaturan Desa

                        Ketika berbicara tentang otonomi daerah dan Desa, maka kita langsung melihat desentralisasi sebagai azas utama. Azas untuk menopang otonomi daerah tentu sudah final, yakni menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (delegasi). Azas desentralisasi terutama diberikan kepada kabupaten/kota mengingat daerah ini menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas dekosentrasi terutama diberikan kepada provinsi mengingat gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Azas tugas pembantuan (delegasi) diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan kepada Desa. Tetapi perspektif dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan sempurna untuk menempatkan posisi dan peran Desa, karena Desa mempunyai otonomi asli dengan basis hak-hak bawaan (asal-usul).
Karena itu diusulkan kembali dua azas utama yang digunakan untuk mendasari otonomi pemerintahan Desa.  Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-usul Desa. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan aslinya. UU No. 32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak asal-usul Desa, meski jabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula hanya menjadi lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di tengah-tengah kecamatan dan Desa (gampong). 
Kedua, azas subsidiaritas, yakni lokalisasi kewenangan di aras Desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal diputuskan secara lokal dengan kewenangan Desa, dan masalah-masalah lokal juga diselesaikan secara lokal.  Subsidiaritas mengandung spirit menghargai, mempercayai dan menantang Desa untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas itu inisiatif lokal Desa akan sulit tumbuh, dan Desa kian menjadi beban berat bagi pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ke tingkat mukim. Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika tidak selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan terakhir berada di level kasasi Mahkamah Agung.
Berdasarkan pemahaman pada gambaran umum di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak harus dapat menjawab pertanyaan mengapa paradigma yang menjadi dasar pengaturan mengenai Desa yaitu memberikan dasar menuju kemandirian, artinya memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (dalam Suhartono, 2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama, paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga, paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil.
Berdasarkan paradigma yang pertama, yaitu melihat permasalahan Desa berdasarkan pada masalah rakyat itu sendiri, maka dalam Undang-Undang Desa yang ditekankan adalah bagaimana menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat Perdesaan adalah pelaku utama pembangunan di Desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif. Berdasarkan paradigma di atas, maka peran desa  di dalam masyarakat harus ditingkatkan dalam:
1)      Mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi kelurahan;
2)      Penyelenggaraan pemerintahan Desa
3)      Mengidentifikasi dan melaksanakan kewenangan Desa;
4)      Pembuatan Peraturan Desa
5)      Perencanaan Pembangunan Desa
6)      Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa
7)      Kerjasama Desa
8)      Meningkatkan peran Lembaga Kemasyarakatan
9)      Melestarikan Lembaga Adat

Berdasarkan ketentuan di atas, maka sebenarnya peran masyarakat akan ditingkatkan dalam segenap aspek yang berkembang di Desa, seperti penyelenggaraan pemerintahan Desa, demokrasi Desa, ekonomi dan pembangunan Desa, kerjasama antar Desa dan hubungan Desa dengan supra Desa.
Dari paradigma kedua, yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat, permasalahan Desa ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam:
a. penyelenggaraan pemerintahan Desa
b. pengembangan ekonomi pedesaan
c. pengembangan demokrasi lokal
d. pengembangan kerjasama Desa
Selanjutnya dari paradigma ketiga, yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil, maka Desa ini:
a.       memungkinkan Desa menerima atau menolak penyerahan urusan pemerintahan di atasnya
b.      menegaskan akan arti pentingnya hak asal-usul, adat istiadat Desa dan sosial budaya masyarakat Desa
c.       menegaskan akan arti pentingnya Kepala Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ekonomi Desa, mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa dan sebagainya. [10]

3.       Ketentuan Umum
1.             Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.             Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
3.             Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4.             Kecamatan adalah wilayah pembangunan dan pelayanan publik yang dipimpin camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.
5.             Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri beserta kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.             Otonomi asli adalah hak dan wewenang Desa mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara.
7.             Rekognisi adalah pengakuan negara terhadap hak asal-usul Desa.
8.             Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9.             Subsidiaritas adalah penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan secara lokal di tingkat Desa berkenaan dengan kepentingan masyarakat setempat.
10.         Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat
11.         Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
12.         Badan Permusyaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
13.         Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat.
14.         Alokasi Dana Desa  adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk Desa sebagai salah satu komponen dana perimbangan yang diterimakan oleh pemerintah daerah, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
15.         Perencanaan Desa adalah perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka tahunan yang disusun sendiri oleh Desa (self planning) secara partisipatif dan ditetapkan bersama oleh Kepala Desa dan BPD dengan Peraturan Desa. 
16.         Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
17.         Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa yang direncanakan secara partisipatif, dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan BPD, yang ditetapkan dengan Peraturan Desa.
18.         Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh BPD bersama Kepala Desa.
19.         Pembinaan adalah pemberian pedoman, standar pelaksanaan, perencanaan, penelitian, pengembangan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan, konsultasi, supervisi, monitoring, pengawasan umum dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan Desa.



[1]  Moh. Fadli, Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi. 2011. Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif.  Malang : UB Press. Hlm 2.
[2] Aristoteles dalam Sri Soemantri Martoseewignjo. Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976. Hlm 3.
[3] Dr. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa. 2010. Malang : Setara Press.
[4] P. J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuno Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Hlm 212.
[5] Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, Cet. V, Jakarta, 1984. Hlm 1.
[6] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa, Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, PT Alumni, Bandung, 2010. Hlm 2-3.
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cet. VII, Jakarta , 1995. Hlm. 226.
[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi 12, Rajawali Press, Jakarta, 1990, sebagaimana yang dikutip oleh I gede Agus Wibawa, Pengaruh Status Kelurahan Menjadi Desa Dalam Persektif Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Perubahan Status Pemerintahan), Disertasi tidak diterbitkan, Program Pascasarjana FIA Universitas Brawijaya, 2011. Hlm. 9-11.
[9] Ibid.
[10] Dr. Didik Sukriono. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa. Malang : Setara Press.

1 komentar:

rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com

Posting Komentar