Minggu, 22 Juni 2014

PARLIAMENTARY TRESHOLD (BATAS AMBANG PARLEMEN) dan PERKEMBANGANYA

PARLIAMENTARY TRESHOLD (BATAS AMBANG PARLEMEN) dan PERKEMBANGANYA
(Tugas Mata Kuliah Parpol & pemilu)

OLEH
RADEN MAS MARYANTO
NPM. 1112011238





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
PT sebenarnya mulai diterapkan sejak disahkannya Undang-undangNomor 10 Tahun 2008  tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengertian ini dapat kita lihat dari Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”. Dengan begitu walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara partai politik tersebut tidakmencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi.[1]

Disinilah letak titik lemah ketentuan tersebut diatas, karena suara rakyat pemilih parpol yang tak lolos PT (berkisar 18% lebih) cenderung tidak dipertimbangkan sama sekali, pertimbangan seseorang untuk memilih parpol tertentu pada dasarnya dikarenakan kesesuaian antara platform partai yang diperjuangkan dan ini mencederai hak asasi pemilih yang diakui dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi para penyusun undang-undang ini, mungkin ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi lawan di parlemen, sehingga daya saing mereka meningkat. Dengan semakin banyaknya partai dibandingkan pemilu 2004 yang lalu, karena tidak semua partai dapat masuk ke DPR. Dampak bagi masyarakat adalah, para partai yang merasa dirinya partai besar, akan lebih semenamena dalam membuat undang-undang, sehingga makin banyak undang-undang yang akan masuk ke dalam Mahmakah Konstitusi untuk di uji dengan undang-undang dasar 1945. Ismail Sunny dalam bukunya Demokrasi Menurut Pancasila menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum (general election) atau pemilu itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu :[2]

1.      untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
2.      untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3.      untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
4.      untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga.

Dalam hal ini ketentuan PT tidak lebih baik dari ET, karena pemberlakuan PT lebih mengebiri prinsip-prinsip hak asasi warga. Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui bahwa PT kurang
baik dan inkonsisten.11 Namun meskipun tidak baik karena itu bukan bidang MK, maka MK tidak boleh membatalkan.

Rumusan Masalah
1.      Apa Parliamentary threshold ?
2.      Bagaimana perkembangan parliamentary threshold?

Tujuan
1.      Mengetahui apa yang di maksud dengan parliamentary threshold
2.      Mengetahui bagaimanaka perkembangan parliamentary treshold











BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Parliamentari Treshold

Ketentuan parliamentary treshold di masing-masing Negara memiliki konsep yang berbeda yang pada umumnya di pengaruhi oleh konsep historis dan Culture Negara tersebut. Tidak ada besaran resmi bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary threshold. Beberapa referensi mengenai parliamentary threshold dibeberapa negara menunjukkan variable yang berbeda. Negaranegara di dunia yang menerapkan parliamentary threshold, tidak ada batas mutlak bagi setiap negara. Batas mutlak ini tidak membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara untuk menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari mekanisme parliamentary threshold.


Di Indonesia Parliamentary threshold merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai  politik untuk bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional.
Ketentuan tersebut diterapkan dalam Pemilihan Umum 2009, ketentuan tersebut dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202 Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[3]. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
1.      Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus memenuhi ambang batasperolehan suara  sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

Sedangakan di beberapa negara menerapkan ambang batas penempatan anggota parlement oleh partai politik sangat bervariasi dimulai dari angka 2 % sampai dengan 5 % angka angka tersebut tidak dapat di jelaskan dari mana perolehannya yang pasti angka tersebut telah disepakati oleh parlemen yang merupakan perwujudan dari kehendak rakyat Di Indonesia penetapan angka 2.5 % tersebut dinilai oleh beberapa pihak dalam hal ini anggota partai politik adalah inkonstitusional (tidak sesuai dengan konstitusi).
Mereka adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan),
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.[4]
 Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan bahwa Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) Inkonstitusional ( bertetangan dengan Konstitusi )

Dalam Proses persidangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan salah satu dari pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan sebagai legal standing dalam perkara no 3/PUU-VII/2009 karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Dalam Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold maupun parliementary threshold. Dalam pertimbanagn putusan tersebut diuraikan “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang- Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,”

Sedangkan Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut Mahkamah Kontitusi , adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang- Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.[5]
Namun dalam Putusan tersebut diuraiakan pula Dissenting Opinion dari Hakim Konstitusi lain yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penetapan besaran angka electoral threshold maupun parliementary threshold..

Menurut Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan berpendapat bahwa, Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal207, Pasal 208, dan Pasal 209 UU 10/2008 tersebut dalam kenyataannya tidak memperhitungkan dan tidak mempertimbangkan secara cermat norma-norma, jiwa, dan semangat konstitusi dalam UUD 1945, yang justru harus menjadi sumber legitimasi dari seluruh produk perundangundangan yang dibentuk. Kebijakan yang dianut. juga jelas bersifat coba-coba, yang merupakan perubahan atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang menggunakan electoral threshold sebagai mekanisme penyederhanaan partai, yang belum sempat diterapkan sebelum kemudian beralih kepada perliamentary threshold dan sejumlah threshold lainnya. Oleh karenanya, tidak dapat juga dielakkan timbulnya kesan yang kuat bahwa kepentingan-kepentingan sesaat sangat berpengaruh pada kebijakan yang dilahirkan, dan tidak diuji secara keras kepada prinsip-prinsip konstitusi, yang seharusnya wajib dipatuhi dan dilindungi serta diwujudkan oleh pembentuk Undang-Undang (Obligation to protect, to guarantee and to fulfill).
Ketentuan parliamentary threshold 2,5% (dua komalima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkandalam penentuan perolehan kursi DPR, sungguh-sungguh mengesampingkan prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakanoleh rakyat pemilih untuk memilih wakilnya di DPR, akan tetapi tidak dijadikan tolok ukur untuk DPRD. Hal demikian dilakukan dengan dalih untuk melakukan penyederhanaan partai politik yang berada di DPR sebagai salah satu strategi penguatan sistem presidensiil.

Sedangkan dissenting opinion yang lainnya muncul dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. Beliau menyatakan Bahwa UUD 1945 telah meletakkan “prinsip kedaulatan rakyat” menjadi “prinsip utama konstitusi” dan sekaligus menjadi “moralitas konstitusi” yang tidak hanya member semangat dan warna serta pengaruh dalam menentukan berbagai bentuk perundang-undangan dibidang politik melainkan juga memberikan “sifat dan warna tersendiri”kepada bentuk pemerintahan;Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dalam rangka mewujudkan “prinsip kedaulatan rakyat” haruslah diletakkan kepada besarnya suara pilihan rakyat terhadap wakil yang dipilihnya. Adapun besarnya mandat rakyat yang diberikan kepada calon yang dipilih menunjukkan tingginya legitimasi politik yang kuat kepada calon yang bersangkutan, sehingga dengan diperolehnya legitimasi yang kuat dari rakyat tersebut dengan sendirinya memperkuat akuntabilitas yang akan lebih mudah mengagregasi kehendak rakyat yang diwakilinya; Alasan penyederhanaan partai agar memperkuat sistem presidensill ini menurut Akil adalalah bertentangan dengan UUD 1945 dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena dengan alas an tersebut diatas memiliki akibat terjadinya perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Adanya putusan 52/PUU-X/2012 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menganulir pasal 8 ayat 1 ayat 2,dan pasal 208 dalam udang-undang no 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilar rakyat, dewan perwkilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah(UU no 8 tahun 2012) sangat patut di apresiasi . hal tersebut meruapkan upaya unukmengikis kesenjanhan politik yang dialami antaar kekuatan partai politik lama dengaqn kekuatan partai politik baru setidaknya  putusan tersebut juga menyiratkan untuk mengurangi rezim oligarki dalam pembentukan UU poloitik untuk mengurangi egoism dalam menjaga kekuasaanya, Adapun pembentkan UU politik ini sebelumnya bmengundang polimik dan kegaduhan menjelang oemilu 2014, polemokmtersebut adalah menyoal penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5 % yang dilakukan dalam proses electoral baik dalam tingkat local maupun nasional,selain itu di wajibkan pula adanta aturan verifikasi terhadap partai politik non parlemen sebagai persyaratn ikut vdalam pemilu 2014 juga di nilai untuk menjegal adanya partai baaru secara sistematik-konstitusional. Tentunya hal ini memanacing reaksi keras dari 22 partai kecil yangt melihat aturan tersebut sangatlah diskriminatif  mengingat hal itu sama saja mengurangi partisipasi aktif warga Negara lainya untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik praktis.
Dalam RUU Pemilu yang tengah digodok di DPR, konsep penyerderhanaan parpol masih menggunakan konsep Electoral Threshold (ET). ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berkutnya. Dalam pasal 9 ayat (1)  UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur ntuk dapat mengikuti pemilu berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay berpendapat ET berpotensi melanggar konstitusi. Pasalnya, sebuah parpol yang tidak mencapai batasan ET diharuskan membubarkan atau mengabungkan diri jika ingin ikut Pemilu berikutnya. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara.    

Lebih lanjut, Hadar mengatakan  ukuran efektivitas sistem presidensial bukan terletak pada jumlah parpol dalam Pemilu, melainkan jumlah parpol dalam Parlemen. Untuk itu dia  merekomendasikan menggunakan Parliamentary Threshold (PT) karena diyakini lebih efektif membatasi parpol di parlemen. Dalam PT ambang batas ditetapkan kepada parpol untuk mengirimkan wakilnya ke parlemen. Fokusnya adalah mengurangi jumlah parpol di parlemen, bukan di pemilu, terang Hadar.

Dia menjelaskan melalui parliamentary threshold sebuah partai tidak perlu membubarkan atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Pembubaran parpol dalam PT bisa dilakukan bila bertentangan dengan konstitusi, Bukan karena tidak berprestasi, tukasnya.

Parliamentary threshold dinilai lebih efektif menjaring parpol yang serius memperjuangkan  aspirasi masyarakat. Karena selama ini banyak elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik. Jadi, mereka kurang peduli dengan perkembangan parpol yang mereka dirikan, ujar Hadar.

Hal ini diamini oleh Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Bivitri mengatakan keterwakilan parpol di DPR diukur berdasarkan kualitas dan kinerja bukan bedasarkan jumlah. pembatasan jumlah parpol dalam DPR logis dari segi kinerja,ungkapnya. Sementara, Nia Sjarifudin dari Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan menuturkan bahwa Electoral threshold tidak menarik bagi perempuan dan partai kecil, ujarnya.[6]
Parliamentary Threshold diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus. Kemudian, Pasal 202 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa konsep parliamentary threshold tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep ini merupakan konsep yang bagus untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan politik negara-negara berkembang tentang hubungan presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi.

Mainwaring mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin.

Dampak multipartai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multipartai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bisa dengan kepentingan primordial masing-masing

Wacana penyederhanaan partai politik semakin mengemuka terutama ketika membahas Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Secara teoritis, dalam sistem Presidensiil yang dianut oleh Indonesia, lebih cocok disandingkan dengan sistem multi-partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan Indonesia selama ini lebih cocok untuk digunakan dalam sistem parlementer. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk membatasi jumlah partai yang politik yang duduk di parlemen, antara lain melalui Electoral Threshold atau melalui Parliamentary Threshold seperti yang dianut oleh Jerman.

Parliamentary Threshold di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut menjelaskan ketentuan yang berlaku dalam pasal 202, yaitu :

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan begitu walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara partai politik tersebut tidak mencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen.

Tentunya kita bertanya kemana suara parpol yang tidak sampai memperoleh ambang batas 2,5% tersebut? Konsekuensi dari pemberlakuan undang-undang tersebut, suara parpol otomatis hilang/ hangus, sehingga kemudian suara tersebut tidak ikut dihitung, hanya parpol yang mencapai 2,5% suara sah nasional atau lebih saja yang diikutsertakan dalam perolehan kursi. Namun ketentuan Parliamentary Threshold tidak berlaku bagi pembagian kursi di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.

Disinilah letak titik lemah ketentuan tersebut diatas, karena suara rakyat pemilih parpol yang tak lolos Parliamentary Threshold (berkisar 18% lebih) cenderung tidak dipertimbangkan sama sekali, pertimbangan seseorang untuk memilih parpol tertentu pada dasarnya dikarenakan kesesuaian antara platform partai yang diperjuangkan dan ini mencederai hak asasi pemilih yang diakui dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi para penyusun undang-undang ini, mungkin ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi lawan di parlemen, sehingga daya saing mereka meningkat. Dengan semakin banyaknya partai dibandingkan pemilu 2004 yang lalu, karena tidak semua partai dapat masuk ke DPR.

Sehingga ketentuan Parliamentary Threshold ini menimbulkan persoalan bagi sebagian kalangan, utamanya partai kecil, yang tidak mendulang banyak massa. Kekhawatiran muncul karena tipisnya harapan untuk duduk di DPR dan ikut menjadi penentu kebijakan nasional. Sementara keikutsertaan dalam pemerintahan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Kekhawatiran lain juga muncul karena hanya partai besar saja yang dipastikan akan memperoleh kursi di DPR sehingga hanya kepentingan partai besar yang akan terpenuhi. Sementara partai kecil mengklaim bahwa mereka membawa kepentingan rakyat kecil yang selama ini gagal diperjuangkan oleh partai besar lainnya. Hal paling ekstrim yang dikhawatirkan sebagian kalangan adalah ketakutan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini akan membawa Indonesia kembali pada era Orde Baru dimana parlemen dikuasai oleh partai besar dan dekat dengan kekuasaan.
Ismail Sunny dalam bukunya Demokrasi Menurut Pancasila menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum (general election) atau pemilu itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu :
1.      Melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
2.      memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
3.      untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
4.      untuk melaknakan prinsip hak-hak asasi warga.

Dalam hal ini ketentuan Parliamentary Threshold (PT) tidak lebih baik dari Electoral Threshold (ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya), karena pemberlakuan PT lebih mengebiri prinsip-prinsip hak asasi warga. Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui bahwa PT kurang baik dan inkonsisten. Namun meskipu12/10/11 1:10 AMn tidak baik karena itu bukan bidang MK, maka MK tidak boleh membatalkan.

Karena adanya kekhawatiran tersebut, maka ketentuan Parliamentary Threshold ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk di uji dengan undang-undang dasar 1945.

Pemohon perkara tersebut adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.

Mereka menganggap Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang terkait dengan pemberlakuan Parliamentary Threshold tidak konstitusional.

Di antara ketiga kelompok Pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa hanya anggota Parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi syarat sebagai Pemohon, karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.

Terkait dengan pokok permohonan, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold (ET) maupun Parlimentary Threshold. “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,” ucap Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan putusan.

Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut MK, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Hal ini tertuang dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009.

Kebijakan hokum ambang batas parlemen atau parliamentary threshold merupakan cara untuk mewujudkan politik hokum menuju system muti partai yang sederhana,. Kebijakan ini telah di berlakukan sejak pemilu 2009 untuk menggantikan electoral threshold. Dalam putusan nomor 3/PUU-VII/2009, MK menilai penerapan ambang batas parlemen sebagai kebijakn ayang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dan keikutsetaanya dalam pemilu berikutnya yaitu pemilu 2014.[7]
Penerapan ambang batas parlemen mengandung konsekuensi hilangnya sejumlah suara yang memilih partai tertentu yang tidak memenuhi besaran angka yang telah di tentukan. Oleh karena itu perlu di perhatikan sesuai dengan prinsip demokrasi , dalam penentuan besaran  Parliamentary threshold tersebut tidak boleh merugikan kelompok masyarakat tertentu terutama minoritas. Penentuan besran ambang batas parlemen harus memperhatikan keberagaman masyarakat Indonesia yang tercermin dalam aspirasi politik. Penentuan parliamentary threshold perlu ndilakukan secara proporsional, antara politik hokum penyederhanaan kepartaian dan perlindungan terhadap keragaman politik. Penentuan besaran ambang batas parlemen juga jangan sampai hanya di lakukan berdasarkan pertimbangan keuntungan dan kerugian yang akan di dapat oleh partai politik.[8]


BAB III
KESIMPULAN

Parliamentary Treshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.
Ketentuan mengenai parliamentary threshold dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202 Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[9]. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
1.      Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus memenuhi ambang batasperolehan suara  sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

Parliamentary Threshold di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut menjelaskan ketentuan yang berlaku dalam pasal 202, yaitu :
(1)    Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan begitu walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara partai politik tersebut tidak mencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen.
























DAFTAR PUSTAKA

Ismail Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi,Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer.
M. janedri Gafar, 2012, Politik Hukum pemilu, Jakarta : Konstitusi Press.

Warsito Rahardjo,2013, Menuju Pemilu System Pemilu Dengan Ambang
Batas Parlemen Yang Afirmatif, Yogyakarta : Fakultas Isipol
Universitas Gadjah Mada
Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD terhadap UUD 1945
Eka N.A.M Sihombing, 2009, Jurnal konstitusi; Pemberlakuan
parliamentary threshold dan kaitanya dengan Hak Asasi Manusia
volume 1 nomor 1 , medan : Universitas sumatera utara.
Agung Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”









[1] Jurnal Konstitusi USU VOL 1 Hal 34
[2] Ismail Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm.754.
[3] Agung Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”, (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/83-sistem-multipartai-di-indonesia.html), diakses pada hari Senin, tanggal 6 Mei 2014, Pukul 10.44 WIB.
[4] LPPM Jurnal 2011, hal 5
[5] Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945
[7] Janedjri M. Ghafar, politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press ,2012, hal 33
[8] Ibid hal 35
[9] Agung Gunandjar Sudarsa, “ Sistem Mutipartai di Indonesia”, (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/83-sistem-multipartai-di-indonesia.html), diakses pada hari Senin, tanggal 6 Mei 2014, Pukul 10.44 WIB.

1 komentar:

rezeki itu ada jika kita mencarinya
yuk coba keberuntugan anda
di permainan tebak angka
www.togelpelangi.com

Posting Komentar