Selasa, 24 Juni 2014

Analisa Yuridis perjanjian Kerja Dalam Kaitanya Melindungi Buruh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Buruh merupakan Salah satu elemen terpenting dalam pembangunan suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia yang sudah 68 thun memerdekakan diri, namun saat ini belum meneguk kesempurnaan perlindungan hokum khususnya kaum buruh.perekonomian yang semakin hari semakin bertambah dan berkembang namun belum mampu untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, kemudian timbuah suatu masalah terkait perlindungan terhadap kaum buruh yang mana banyak permasalahan yang belum mampu terselesaikan, perdagangan buruh ,outsourching, minimnya pendapatan masayaraakat, serta banyakanya perdagangan iegal buruh ke Negara asing.
Dalam hal inin pemerintah turut andil dlam perindungn buruh yang saat ini mengalami banyak permasalahan baik dari segi ekonomi, budaya, maupun pendidikan yang sejatinya akan menghambat perkembangan Indonesia di bidang perekonomian, lahirnya undang-undang no 13 tahun 2003 tidak serta merta penjaminan terhadap kaum buruh dapat terlakasanan dengan sesuai harapan.
Indonesia di tahun 2015 akan berpartisiapasi dalam Komunitas Asean yang mana pasar bebas akan di gelar di Negara-negara asia tenggara yang mana Indonesia menjadi salah satu kandidat terlaksananya program tersebut.
Menyikapi hal ini Indonesia perlu memperbaiki system perlindungan Ketenagakerjaan untuk mememnuhi pasok tenaga kerja di dalam negeri maupun diluar negeri setelah Komunitas asean terlaksana di tahun 2015.
perlunya perlindungan dan jaminan huku terhadap tenaga kerja memberikan kesadaran pemerintah akan pentingnya membuat suatu regulasi pro dengan para pekerja. Dalam hal ini ada beberapa undang-undang yang perlu di kaji untuk mengeahui seberapa jauh tindakan pemerintah dalam melindungi kaum pekerja atau buruh.


B. Perumusan Masalah

1.      Bagaimanakah analisa  yuridis terhadap perlindungan hokum menurut Undang-Undang ketenagakerjaan di Indonesia.
2.      Bagaimanakah peran Undang-undang ketenagakerjaan dalam melindungi serta penjaminan perindungan buruh sesuai dengan undang-undang Ketenaga kerjaan.

C. Tujuan

1.      Untuk mengetahui peran Undang-undang dalam hal perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
2.      Mengetahui analisa yuridis dalam kaitanya Undang-undang ketenagakerjaan dengan perlindungan terhadap tenaga kerja di Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Umum Perjanjian di Indonesia.
Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu perjanjian yang mendahului hubungan hukum tersebut. Secara umum suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain dan dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal[1] Dengan adanya pengertian tentang perjanjian tersebut, bisa disimpulkan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang.
Dalam hal perjanjian, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat terhadap bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum[2]
Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1, Pasal 1337 KUH Perdata.
Dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:[3]
a.       Ada pihak-pihak
b.      Ada persetujuan antara para pihak
c.       Ada tujuan yang akan dicapai
d.      Ada prestasi yang harus dilaksanakan
e.       Ada bentuk tertentu
f.       Ada syarat-syarat tertentu

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan menjadi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa “untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut harusalah bersepakat dan setuju atas hal-hal yang diperjanjikan dengan tanpa ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Maksudnya adalah yang dapat membuat suatu perjanjian adalah mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu orang dan badan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum, antara lain:
a.       ada harta kekayaan yang terpisah;
b.      mempunyai tujuan tertentu;
c.       mempunyai kepentingan sendiri;
d.      ada organisasi.
Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, maka badan hukum tersebut bisa disebut sebagai subyek hukum dan bisa melakukan hubungan hokum yang antara lain sebagai salah satu pihak dalam suatu perjanjian. Jika yang membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap sebagai subyek hukum adalah orang yang tidak termasuk dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu
a.       Orang yang belum dewasa;
b.      mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c.       orang perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua
orang kepada kepada siapa undang-undang telah melarang membuat suatu perjanjian-perjanjian tertentu. Namun bagi seorang perempuan,

B. Perjanjian Kerja
Dalam mengadakan suatu perjanjian, para pihak tidak selalu mempunyai kedudukan yang sama dari pihak lainnya. Kita dapat melihat hal ini pada perjanjian kerja yang terdapat unsur wewenang perintah didalamnya. Sebagai salah satu sumber hukum perburuhan, dengan adanya unsure wewenang perintah dalam perjanjian kerja berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang tidak sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah. Kedudukan yang tidak sama disebut pula hubungan diperatas (dienstverhoeding).[4]

Berkaitan dengan hal tersebut, negara harus melindungi siapa saja yang lemah agar dapat tercapai suatu keseimbangan yang mendekatkan warga negaranya dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dikarenakan dalam mengadakan perjanjian khususnya perjanjian kerja ada perbedaan perbedaan tertentu seperti kondisi, kedudukan, dan berbagai hal seperti di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan antara mereka yang membuat perjanjian kerja, maka diperlukan intervensi dari pihak ketiga yaitu peran Negara guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah, terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.

Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang
menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang. Sehingga pada tahun 2003, lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selain untuk mencabut ketentuanketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998 termasuk pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja.[5]

Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.[6]

majikan dengan buruhnya. Hubungan ini terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan ini berada di bawah pimpinan pihak majikan.[7]
Pengertian perjanjian kerja dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Bila
melihat pengertian tersebut, tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis serta jangka waktunya tidak ditentukan.

Namun hal ini diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.37 Dalam Pasal 51 ayat (2)-nya menyebutkan perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Secara normative
bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.[8]

Selain itu, dalam Pasal 54 juga menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:
a.       nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.      nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.       jabatan atau jenis pekerjaan;
d.      tempat pekerjaan;
e.       besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.       syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
a.       pekerja/buruh;
g.      mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.      tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.        tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.


Pada ayat (2)-nya, disebutkan bahwa perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Artinya isi dari perjanjian kerja tersebut baik secara kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di sebuah perusahaan khususnya mengenai besarnya upah dan cara pembayarannya, serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha, dan pekerja/buruh. Pada ayat (3)-nya juga diatur mengenai perjanjian kerja yang harus dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), masing masing untuk pekerja/buruh dan pengusaha dan mempunyai kekuatan hukum yang sama pula. Bila melihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (2), perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, dan salah satu contohnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja harus disepakati jangka waktunya sehingga terlihat apakah perjanjian kerja tersebut berlaku untuk jangka waktu tertentu atau bukan karena terdapat perbedaan dalam pengaturannya termasuk jenis pekerjaannya.

C. Perlindungan Tenaga Kerja
Perlindungan Tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam hukum ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan di antaranya mengatur hal itu.
1.      salah satu tujuan pembangunan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan ( pasal 4 huruf c).
2.      setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (pasal 5)
3.      Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusah (pasal 6)
4.      Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat , minat dan kemampuanya melalui pelatihan kerja (pasal 11)
5.      Setiap pekerjaa atau buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya (pasal 12 ayat 3)
6.      Setiap tenaga  kerja memiliki hak dan kesempatan kerja yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasiolan yang layak di dalam atau di luar negeri (pasal 31).
7.      Setiap pekerja buruh, berhak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perilaku yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama (pasal 86 ayat 1).
8.      Setiap pekerja atau buruh  berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 88 ayat 1)
9.      Setiap pekerja atau buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan social tenaga kerja.( pasal 99 ayat 1)
10.  Setiap pekerja atau buruh berhak untuk membentuk dan menjadikan pekerja/buruh (pasal 104 ayat 1).[9]
B.    Jenis Perlindungan Kerja
Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu sebagai berikut :[10]
a.       Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.
b.      Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja. 
c.       Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.

Ketiga jenis perlindungan di atas akan di uraikan sebagai berikut :
 1.    Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
 Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi. 
Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini disebabkan beberapa alasan berikut : [11]
  • Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
  • Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
2.    Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.


Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
  1. Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
  2. Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
  3. Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas[12] 

Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut : [13]
  1. Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S. 1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat bekerja.
  2. Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
  3. Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah putih kering.



3.    Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
 Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.[14]

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.
Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992 adalah: [15]
Merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya program jaminan soisal tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian yang hilang.
Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain :  Indonesia,[16]
  1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
  2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko – resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
Dalam hal perlindungan pemerintah belu bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat mengingat semakin berkenbangnya system perburuhan di Indonesia, mengakibatkan kendala tersendiri serta menyulitkan pemerintah daam mengatasi permasalahan yang ada.






















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Beberapa perlindungan terhadap tenaga kerja di antaranya adalah :
a.       Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.
b.      Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja. 
c.       Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum perlindungan terhadap tenaga kerja adalah meliputi jaminan ekonomi, jaminan social, jaminan kesehatan, dan lain-lain, yang dalam hal ini adalah kewajuban pemerintah dalam penjaminan hak-hak dan perlindungan tennaga kerja, sesuai undang-undaang nomor 13 tahum 2003.






DAFTAR PUSTAKA

Soebekti, 1994, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung

Zaeni Asyhadie, 2007 Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta,
Raja Grafindo Persada,

Lalu Husni, 2003, Pengantar hukum ketenaga kerjaan indonesia, Jakarta : PR Raja Grafindo Persada,

Imam Soepomo, 2001 Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, (edisi revisi) Jakarta: Djambatan, 2001.

Djumadi, 1999, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo PersadA.

Abdul Kadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.

Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.





























[1] Soebekti, Aneka Perjanjian, (Alumni Bandung:1994), hal. 1
[2] Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
Hal. 10
[3] Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982) , hal.78.
[4] Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju,
Bandung:1999, hal. 9
[5] Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279. Penjelasan Umum.
[6] Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi). (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), Hal. 53
[7] Imam Soepomo, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, (edisi revisi) (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.1.
[8] Indonesia, 2003, Op. Cit, Penjelasan Pasal 51 ayat (1): Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun  melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan.
[9] Undang-undang nomor 13 tahun 2003
[10] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal 78

[11] Ibid, hal 80
[12]. Ibid, hal 84

[13] Ibid, hal 84
[14] Indonesia, Undang-undang Jaminan SosialTenagakerja, No, 3 Tahun 1992 Pasal 10.

[15] :  Lalu Husni, Pengantar hukum ketenaga kerjaan indonesia, ( Jakarta : PR Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal 122
[16] Undang-undang jaminan soail tenaga kerja, 3 Tahun 1992.

0 komentar:

Posting Komentar